Aku duduk menonton siaran berita televisi pagi ini. Tanganku tengah memegang mug souvenir yang diminta anak teman Papa dua minggu yang lalu. Pekerjan dadakan memang, untuk souvenir tamu undangan pernikahan mereka. Jika biasanya aku hanya setor desain, kali ini, mereka memintaku untuk mengurus hingga produknya jadi.
Aku memang sudah bekerjasama dengan salah satu percetakan yang ada di Bendungan Hilir sebagai supply barang-barang hasil desainku. Mereka menyanggupi untuk melakukannya dalam dua minggu, membuatku lega setengah mati.
Masalahnya, aku belum menemukan packaging yang tepat untuk souvenir ini. Mulai dari pouch hingga plastik biasa tidak ada yang membuatku sreg. Hhh ... Aku dibayar mahal untuk hal ini, tidak mungkin aku mengerjakannya dengan asal. Aku bahkan tidak mengambil pekerjaan lain hanya untuk menyelesaikan project ini.
Bagai menemukan oase di tengah gurun pasir, berita pagi ini benar-benar membuatku lega. Mereka tengah meliput UMKM yang ada di Magelang, yang menyediakan packaging dari rotan. Bisa custom lagi! Pemiliknya bernama Bu Amiza. Karena hal itu, aku mulai mencari tahu usaha ini melalui ponselku. Aku bahkan bisa membayangkan bahwa packaging ini akan berguna untuk produk online shopku.
Aktivitas menyenangkanku terganggu karena sebuah panggilan dari Hardi. Dengan niat tidak mengangkat, aku mengabaikan panggilan itu dan meneruskan pekerjaanku. Satu chat masuk ke dalam ponselku.
Hardian
Gia, gue sakitAplikasi chatku memang tersambung di laptopku. Rasa bersalah mulai menyerangku. Aku mengerang pelan dan menarik napas panjang. Menghubunginya.
Tanpa kuduga dia langsung mengangkatnya. Suara Hardi yang lemah mendominasi pendengaranku.
"Sakit apa?" tanyaku tanpa basa-basi.
"Demam. Lo kesini dong."
Aku mengangkat alis. "Ngapain? gue kirimin obat aja. Lo istirahat seharian ini."
Hardi mengerang. "Yaudahlah. Emang lo enggak pernah peduli sama gue."
Aku tersenyum mendengarnya. "Lo sakit-sakit tetap nyebelin ya? But nice try Bapak Hardian, gue datang agak siangan."
"Hmm."
"Gue belanja dulu, oke? Gue tau kulkas lo kosong."
"Thank you, penjajah."
Aku mengangkat alis. "Lo bilang gue gue penjajah?" tanyaku tidak terima.
Hardi terbatuk pelan dan menarik napas dalam, kemudian baru tertawa "Nanti gue gombal lo enggak jadi kesini. Udah ya, lemes nih!"
Aku segera mengakhiri panggilan itu dan bersiap-siap. Kenapa dia menghubungiku sih? Aku jadi tidak tega membiarkannya sakit sendirian. Hardi dulu pernah panik saat aku masuk IGD karena asma dan maag. Tidak mungkin aku membiarkannya sakit sendirian.
Aku bukannya enggan mengurusinya. Tetapi, entahlah. Aku selalu berusaha menjaga batas dengan Hardi selama ini. Apalagi setelah kasus terakhir kami. Aku jadi semakin paham kedekatanku dengan Hardi melebihi batas wajar. Bukan tidak mungkin ada perempuan lain yang cemburu kepadaku seperti sebelumnya.
Dari apa yang terjadi, aku belajar ... bahwa memang ada hal-hal yang sebaiknya dihindari agar tidak membuat masalah dikemudian hari.
Sayangnya, Hardi sudah terlalu terbiasa denganku.
***
"Sayang banget gue sama sahabat gue sampe bela-belain ke sini karena dia sakit! Peduli banget gue sama sohib gue. Ya ampun Gianny, gue bangga sama lo!" Aku mendumel sambil mengeluarkan barang belanjaanku. Hardi terkekeh berdiri di depan kamarnya. Dia tengah mengenakan kaos putih dan boxer putih, tampak selesai mandi. Padahal dia sedang demam, terbukti dari wajahnya yang lebih pucat dan hawa panas yang menguar dari tubuhnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/239815716-288-k709635.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Allure | ✓
Fiction généraleF-Universe #1 Gianny Andin Jovanca percaya bahwa sebenarnya perempuan dan laki-laki bisa 'hanya' sebatas sahabat. Setidaknya sampai Hardi datang kembali ke kehidupannya dan menawarkan sesuatu yang lain. Masalahnya bukan pada Hardi, tetapi pada dirin...