Part 8

15.5K 2.4K 86
                                    

"Gimana, Gi? Can we try something new?"

Hardi tidak mau mengalah dan mengalihkan pembicaraan. Dia masih saja mengarahkan kami pada pembicaraan ini. membuatku hanya bisa diam, terlalu bingung untuk menanggapi. Jika ini hanya bercanda, aku benar-benar akan marah padanya.

Tapi, jika ini hal seserius itu ... aku akan menganggapnya bercanda.

Aku meletakkan lemon squash untuknya di meja kecilku, duduk di depannya. Hardi masih bertahan dengan menatap serius padaku. Jujur saja, ini canggung sekali. Melihat wajahnya seperti ini, benar-benar membuatku buntu.

"Apa tadi?"

"Mengupgrade persahabatan kita."

"Ke?"

"Pasangan?"

Aku mengangkat tanganku. "Enggak usah ngada-ngada deh!" Sepertinya Hardi butuh liburan karena sudah mulai melantur, dia pasti mengigau.

Dia tidak mungkin benar-benar menyukaiku kan?

Aku terlalu bingung menanggapi penembakan dadakan ini. Aku terus menunggunya untuk tertawa dari tadi. Tetapi dia tak melakukannya, dia hanya terus menatapku. Tadi pandangannya tegas, sekarang pias.

Hardi menelan ludah kemudian menunduk. Dia memaksakan senyum padaku, detik ini lebih enggan lagi menatapku.

"Lo enggak kerja?" tanyaku mencairkan suasana.

Hardi menggelengkan kepala. "Hm, hari ini udah selesai."

"Maksudnya?"

"Enggak masuk kantor, tadi ke site aja. Trus mampir kesini." Suasana langsung menjadi cair, aku hanya menanggapinya dengan ber-oh ria.

Hening kembali.

Aku benar-benar tidak suka keadaan seperti ini dengan Hardi. Aku selalu menikmati kebersamaan kami, dimulai dari perdebatan hingga hening. Tetapi, baru kali ini terasa sangat canggung sekali.

"Di," aku mengembalikan lagi ke keadaan tadi karena dia tidak bersuara juga. "Lo tadi bercanda kan? Enggak serius kan?" Tanyaku memastikan lagi, karena sepertinya dia mulai kesal denganku.

Hardi mengangkat bahunya.

"Kalau gue serius gimana?"

Sepertinya aku butuh menurunkan suhu AC. Karena udara sepertinya semakin panas, apalagi pintu kontrakanku terbuka seperti ini.

"Gue serius suka sama lo. Gimana?"

Aku mengerinyitkan dahi. Pikiranku masih menolak. Jika laki-laki lain, Petra misalnya, akan dengan cepat aku mempercayainya. Tetapi, Hardi ... kenapa?

"Sumpah ini enggak lucu kalau lo bercanda."

Dia mendengkus dan menggelengkan kepalanya. Ya Tuhan, kemana sahabatku, Hardian?

"Mau gue bilang serius seribu kali juga lo anggapnya bercanda ya?" Dia kembali merebahkan diri dan memainkan ponselnya. Aku langsung mengambil ponsel itu dan menatap tajam.

"Gue lagi ngomong," ujarku tidak suka, tak ada raut kejahilan lagi di wajahku.

"Ngomong aja," sahutnya jutek.

"Kok lo marah sih?"

"Seharusnya gue yang nanya sama lo. Kenapa setelah berkali-kali pengakuan gue, lo anggapnya bercanda? Lo enggak menghargai keberanian gue." Dia mengambil ponselnya dari tanganku dan memiringkan badannya.

Hardi hanya sibuk memainkan ponselnya tanpa menanggapiku lagi. Aku yakin ini hanya taktiknya karena dia sudah menggunakan cara ini puluhan kali apabila dia sedang ngambek. Selalu seperti ini kalau permintaannya tidak dituruti atau dia tidak didengarkan. Bagi semua orang, Hardian itu dewasa. Tetapi, di depanku dia menjelma menjadi bocah menyebalkan. Seperti dia tidak pernah sungkan menunjukkan emosinya kepadaku. Dia pikir aku tidak tahu cara menghadapi sikapnya yang begini?

Allure | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang