Part 20

16.3K 2.3K 146
                                        



Sekali budak cinta, ya tetap budak cinta.

Hardi terperanjat kaget saat mendapatiku ada di ruang makannya. Dia masih setengah sadar sepertinya. Aku melirik jam ditanganku dan menunjukkan pukul tujuh. Dia tidak akan bekerja kan? Setahuku, absennya setengah delapan.

Aku tidak bisa tidur semalaman, meskipun sudah berganti posisi ratusan kali. Juga berusaha untuk melelapkan diri. Tetapi, sepertinya pikiranku lebih banyak bekerja dari yang kubayangkan, sekalipun sudah meninggikan ego dan gengsiku, tetap saja hatiku berdebar cemas setiap memikirkan bagaimana tangan Hardi kemarin di bahu Erlina.

Aku mengorek hatiku agar cemburu, mengikisnya sendiri. Seharusnya itu yang kurasakan bukan? Hardi itu milikku sekarang, jadi kalau dia bersama perempuan lain.... Harusnya aku marah dan cemburu. Seharusnya juga aku tidak datang kesini. Seharusnya aku makin memperkeruh keadaan. Seharusnya aku melanjutkan pertengkaran kami dengan aku balas menyerang.

Seharusnya.

Tapi ini Hardian.

Yang kurasakan bukan perasaan menggebu, bukan ingin marah tapi malah terlalu dingin. Aku hampir gila mengartikan semua yang kurasakan, karena benar-benar tidak masuk akal. Jadi kuputuskan untuk tak menelisik yang kurasakan dan kubiarkan hati kecilku melakukan apa yang ingin dia lakukan.

Aku masih ingat bagaimana sekitar hampir dua tahun yang lalu, tepatnya sebelum aku dan Petra putus. Dia juga datang dalam keadaan kacau begini, aku waktu itu mengusirnya. Tetapi, pagi-pagi aku sudah kembali muncul dihadapannya dengan melakukan hal yang sama.

Hardi tampak ragu berjalan mendekatiku. Seperti tertangkap basah. Aku hanya menghela napas menatapnya dan mengalihkan pandanganku. Aku sedikit menggerakkan piring omelet dan teh hijau yang kubuat tadi di depan kursi kosong yang seharusnya saat ini diduduki Hardi.

"Sarapan dulu," aku merendahkan nada bicaraku dan menatap lurus ke arah makanan. Hardi masih belum melakukan pergerakan apapun. Dia sepertinya belum mengerti dengan apa yang terjadi. Jadi kubiarkan dia berpikir dalam keadaan seperti itu.

Kupikir dia akan bergerak ke hadapanku. Tetapi, dia malah kembali ke kamar dan seketika umpatan keluar dari arah kamar.

"Gianny, i'm sorry." Hardi keluar dari kamarnya dan berdiri di depanku.

"Sarapan dulu," ucapku cepat, mataku melirik ke arahnya. "Cuci muka dulu, habis itu sarapan," ulangku tidak mau mengindahkan ucapannya tadi. Hardi menurut saja kali ini, mungkin sudah tahu apa yang terjadi atau apa yang kusaksikan dari semalam. Dia datang kembali ke hadapanku, menarik kursi dan duduk. ketika dia akan menggenggam tangan kiriku, aku langsung memindahkan tanganku ke bawah meja.

Hardi menghela napas.

"Gi, gue bego banget."

"Iya," jawabku cepat dan memotong omelete bagianku dan memakannya. "Kenapa mabuk lagi sih?" Aku tidak ingin berbasa-basi lagi, dan nadaku cukup sinis.

"Anak-anak kantor main uno semalam trus yang kalah minum." Aku hampir tersenyum mendengarnya, dia memang bodoh memainkan game apapun. Kurasa Hardi kalau main kelereng juga pasti kalah. Tetapi, tetap saja, harusnya dia bisa menolaknya

"Main unonya sama Erlina? Main uno apa main yang lain?"

"ENGGAK! Ya ampun! Aku enggak tahu dia datang dari mana."

"Anggaplah bisa dipercaya," aku terdiam mendengar kata-kataku. "Sarapan dulu, Di. Biar waras." Aku memotong bagian omeletenya dengan sendokku dan menunjuk potongan kecil itu sambil menatapnya. Hardi menghela napas dalam dan memakan sarapannya.

Allure | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang