Part 16

15.2K 2.3K 137
                                    



"Gue enggak bisa jelasin kejadian itu, Gi. Gue impulsif saja kesana. Padahal gue lagi jagain Erlina. Dia ngambek parah habis itu."

"Pas gue cerita ke Ardityo dia bilang gue sebaiknya enggak terlalu peduli sama lo lagi karena sudah ada Erlina. Gue iyain aja, pas lo didorong sama Petra habis itu, gue melakukannya lagi. Dan yang parah yang pas mabuk itu."

"Kenapa?"

"Gue ke rumah lo kan? Erlina ada di bar itu, kita berantem besar karena dia banding-bandingin dirinya sama lo. Bilang selingkuhlah. Gue kesal banget padahal gue udah berusaha bangun hubungan. Akhirnya gue lagi-lagi datang ke rumah lo habis berantem itu, dia ngikutin gue dan lihat semuanya."

" Itu penyebab kenapa Erlina blokir lo. Gue enggak punya pembelaan lagi. Gue marah tapi gue merasa bersalah. Gue merasa brengsek banget sama dia, jadi untuk memperbaiki semuanya gue turuti aja. Sampai lo nemu, bikin chat room buat kita berdua melalui Ardityo dan bilang enggak akan ganggu lagi."

Hardi kembali menatapku. "'Maaf ya Di, gue enggak tau salah gue apa sampai begini. Makasih udah mau direpotkan selama ini, gue enggak ganggu lagi kok. Baik-baik lo sama pacar lo.' Gue masih ingat banget kata-kata lo itu, habis itu lo putus dan hubungan gue dan dia udah enggak sama lagi. Semuanya terasa beda."

Aku hanya bisa diam mendengar penjelasannya. Aku tidak bisa menanggapi sama sekali. Ada dua hal yang membuatku terkejut malam ini, jadi aku tidak bisa memilih bagian mana yang menyakitkan.

Bagian aku yang menjadi benalu di hubungan Hardi dan Erlina atau bagian aku yang mengaku sahabat Hardi tapi tak tahu satupun tentang kehidupannya. Keduanya membuatku pusing.

"Ada dua hal yang membuat gue kaget sekarang, penjelasan lo ini dan tentang keluarga lo. Gue tau dua-duanya masuk ke dalam hak lo mau cerita atau enggak. Tetapi,, Di... gue kan bukan teman yang enggak bisa lo ajak bicara, lo bisa komunikasikan semuanya sama gue," aku menahan diri untuk tidak melanjutkan kata-kataku. "Lo anggap gue ada atau enggak sih selama ini?"

Hardi tersentak mendengar ucapanku, tapi aku tetap melanjutkan. "Gue benar-benar mempertanyakan eksistensi gue selama bertahun-tahun ini di hidup lo." Tidak bisa. Aku benar-benar tidak bisa menahan racun yang keluar dari mulutku ini.

"Di, kita enggak usah ketemuan dulu ya? Kayaknya.. gue terlalu bingung deh."

Hardi tak menatapku. "Take your time."

Sudah berapa lama sih aku memiliki hubungan semacam ini bersama Hardi? Rasanya kenapa sudah lama sekali ya? Padahal baru kemarin kami pulang dari Semarang. Sejak malam yang membuatku kebingungan itu -tiga hari yang lalu- aku dan Hardi sama-sama menenangkan diri dengan tidak bertemu satu sama lain. Aku masih belum mampu menyerap semuanya.

Aku harus bersikap apa?

Senang? Sedih? Aku harus sedih saat tahu kehancuran hubungan Hardi sebelumnya karena keberadaanku? Atau harus senang karena ternyata dia lebih memilihku dibanding pacarnya pada saat itu?

Tidak masuk akal.

Aku bukan perempuan yang suka berkompetisi. Kalau memang mau diperebutkan, bukan aku orangnya. Aku hanya welcome, datang ya datang, pergi ya pergi. Tidak perlu ribet bertengkar segala dengan orang lain hanya karena satu manusia.

Itulah kenapa aku bisa move on cepat dari Petra. Dia jelas mau pergi, kenapa aku harus menahannya? Menahan orang yang ingin pergi sama saja dengan menggores belati pada diri sendiri.

Kalau dia ingin bertahan, dia pasti akan bertahan. Tidak perlu aku mengemis memohon agar dia tetap tinggal. Karena dia ingin melakukannya sendiri.

Aku jadi merasa bersalah pada Erlina. Aku tahu dengan pasti Hardi bukan laki-laki brengsek. Dibandingkan kenalanku, Hardi justru yang terbaik. Tetapi, masalahnya, keberadaanku yang membuat dia jadi seperti itu.

Allure | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang