"Erlina itu kerja di The Bites ya?"Aku menatap datar ke arah Windy yang baru datang membawakan makan siangnya sedangkan aku sudah memakan saladku hingga tersisa setengah. Jantungku entah kenapa sedikit berdesir mendengar nama Erlina.
"Iya, dia bagian creative marketing. Kalau enggak salah."
"Gue pikir dia model gitu."
"Side jobnya model." Hanya itu yang kutahu tentang Erlina. Hardi jarang membicarakan Erlina kepadaku kecuali jika aku bertanya seperti seorang intel. Memaksanya untuk berbicara sama saja memaksa punuk onta menjadi rembulan. Dia hanya berbicara kalau keajaiban Tuhan sedang terjadi.
Windy tampak setengah berpikir sebelum menatapku sekali lagi. Tatapannya ragu-ragu, dua puluh tahun mengenalnya membuatku tahu bahwa dia tengah menyembunyikan sesuatu.
Windy dan Ayuna memang teman yang paling dekat denganku dibanding teman-teman kami yang lain. Aku dan Windy merupakan teman dari SD, sedangkan Ayuna baru bertemu saat SMA. Hingga hari ini, kami selalu menyempatkan waktu untuk bertemu satu sama lain.
Selain karena kami tumbuh bersama, Windy juga tahu kapan-kapan saja aku membutuhkan telinga untuk mendengarkan segala ocehanku. Dia juga tidak pernah keberatan menawarkan telinganya untuk sekadar mendengarku. Bahkan dia selalu paling rusuh saat mengetahui perkembangan hubunganku dengan Hardi.
"Apa?"
"Lo mau ngomong apa?" tanyaku tanpa basa-basi.
"Kantor Hardi sama The Bites sekarang satu gedung. Lo tahu?"
Aku mengerinyitkan dahi, karena memang tidak tahu sama sekali. Hardi dan Windy bekerja di satu kawasan perkantoran tapi berbeda gedung. Konon katanya, kantin di gedung Hardi paling lengkap dan enak, jadi dia sering makan siang di gedung kantor Hardi.
"Maksudnya gimana?"
"Apanya?"
"Pengetahuan gue dan Erlina yang satu gedung sama Hardi?"
Windy terkekeh. "Gue cuma ngasih tahu. Lo kan posesif anaknya, minjemin pulpen ke gue aja pelit setengah mati."
Aku melanjutkan makanku. "Itu pulpen mahal yang lo pinjam!" aku tetap tidak terima dibilang pelit. "Gue kan jajannya lebih dikit dari lo. Kalo pulpen standard gue kasih aja sama lo."
Windy tambah tertawa mendengar ocehanku. Aku menatap pesan Hardi yang muncul di pop up. Sebelum Windy melihatnya, aku segera membalikkan ponselku. Belum saatnya dia tahu atas ketidakjelasan ini. Aku dan Windy jarang bertemu, bekerja di start up membuat waktu luangnya sangat sedikit. Ayuna hari ini tidak bisa bergabung bersama kami karena harus keluar kota.
"Terus—" dia masih melanjutkan dengan ragu, aku menunggu Windy menyelesaikan ucapannya. "Boleh enggak sih gue ngomong begini?"
"Cepetan! Keburu bikin penasaran."
"Kemarin kan, makan siang disana lagi. Gue lihat Hardi sama Erlina lagi makan siang bareng. Gue enggak tahu mereka berduaan atau enggak, soalnya gue makan di luar, mereka makan di dalam. Lo jangan cemburu ya."
"Apa sih? Gue enggak cemburu juga."
Tapi ucapan Windy mampu kuserap dengan baik ditelinga. Aku tersenyum tipis padanya dan mengangguk. "Mungkin ada urusan kali. Urusan masa lalu."
"Lo sama Hardi tuh gimana, Gi? Biar gue jelas juga kalau jadi mata-mata." Windy menyadari perubahan ekspresiku seketika. Aku benar-benar merasa asing dan juga setengah cemburu. Bukan karena Hardi sekarang mengejarku tapi mungkin ... karena masalah yang terjadi pada kami di masa lalu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Allure | ✓
Narrativa generaleF-Universe #1 Gianny Andin Jovanca percaya bahwa sebenarnya perempuan dan laki-laki bisa 'hanya' sebatas sahabat. Setidaknya sampai Hardi datang kembali ke kehidupannya dan menawarkan sesuatu yang lain. Masalahnya bukan pada Hardi, tetapi pada dirin...