Part 17

15.1K 2.4K 106
                                        


Aku membuka pintu kamar dan mendapati Aiden sedang duduk di sudut kamar. Dia sudah tidak menangis lagi seperti tadi. Anak itu melipat kakinya dan memeluk dengan tangannya. Aku berjongkok di depannya.

Papa menjelaskan kejadiannya. Jadi dari semalam semua orang tengah sibuk mencari obat Mama yang masih banyak. Mama yang sudah kepalang makan seafood langsung drop dan pusing. Tidak bisa melakukan apapun. Papa sudah panik dan mengurus Mama sekalipun sudah dibawa kembali ke rumah sakit tidak membaik, tiba-tiba Aiden dengan tak merasa bersalah memberikan obat itu kepada Mama dan Papa sambil tertawa. Papa langsung naik pitam, Aiden tak pernah tahu bahwa keusilannya bisa membuat keadaan Mama lebih buruk lagi.

Mungkin, jika aku ada di rumah semalam, aku juga akan memarahinya. Panik dan bercampur perasaan takut bisa membuat seluruh akal sehat menjadi beku. Aku paham dengan perasaan Papa tapi tetap tidak setuju dengan apa yang beliau lakukan. Kami sendiri kadang masih bingung bagaimana menghadapi keusilan Aiden yang kadang tak masuk diakal. Dia bisa menendang mamaku tanpa sebab atau adiknya, Cia. Marah-marah tidak jelas dan menyembunyikan barang, membuat panik seisi rumah.

"Aiden maafin Ibu ya?" Ujarku langsung tanpa menunda lebih lama. Dia mengalihkan pandangan dariku, bibirnya turun ke bawah.

"Maafin ibu ya, Aiden? Ibu tadi salah. Ibu emosi. Aiden mau maafin Ibu?" Aku mengusap kepalanya dengan selembut mungkin. Sumpah demi apapun, aku sangat menyayangi Aiden. Dia keponakan yang paling dekat denganku. Juga dari awal sekali, aku yang mengasuhnya. Aiden masih menuruti emosinya dan menggelengkan kepalanya.

"Ibu jahat!"

Aku menghela napas dalam. "Iya ibu jahat. Ibu salah. Maafin ibu ya?"

"Enggak."

"Tapi nanti Ibu mau keluar, mau beli eskrim." Aku duduk disampingnya. Menatap bocah kecil itu dengan nanar. Aiden menoleh kepadaku.

"Kalau Aiden enggak mau, enggak apa-apa."

"Beliin dua ya?"

"Iya." Aku mengacak rambutnya dan memeluk aiden dengan erat. "Aiden, tadi ibu salah.. ibu langsung minta maaf kan?" Dia mengangguk cepat. "Kalau Aiden salah, harusnya Aiden bagaimana?"

"Minta maaf."

"Itu tahu. Kenapa tadi menjawab kata-kata Opa?" Aku mengusap-usap pipinya dengan lembut.

"Opa jahat."

"Aiden tahu Aiden salah karena sembunyikan obat Oma kan?" Dia hanya diam. "Kalau Oma sakit, Opa dan Oma enggak bisa menuruti keinginan Aiden lagi. Lihat sekarang, Oma sakit, bisa enggak main sama kamu? Ngomong aja Oma susah."

Aiden diam, tidak menjawab sama sekali.

"Kalau Oma sakit, Opa juga enggak bisa ngurus Aiden, Cia, sama Kalila. Opa bakalan sihuk ngurus Oma yang sakit. Jangankan main sama kalian, untuk diri sendiri saja sudah sibuk."

Aku melirik Aiden. "Aiden kan Abang buat Cia, Laia dan Kalila. Aiden yang lebih besar, Aiden contohkan yang baik buat adik-adik. Kalau nanti Aiden buat salah lagi, di depan siapapun apalagi di depan mama dan papa, Aiden harus minta maaf. Enggak boleh marah."

"Tapi Papa.."

"Papa Aiden salah, harusnya Papa yang minta maaf."

Aiden menganggukkan kepalanya. Aku menghela napas dalam.

"Minta maaf sama Opa dan Oma ya? Opa dan Oma sayang sekali sama cucu laki-lakinya ini," Aku berdiri dan menatap Aiden pelan.

"Besok, Aiden ikut ibu pulang ke rumah ya? Mau sekolah, kan?"

Allure | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang