Part 21

16K 2.4K 220
                                        


"Town house lagi ngehype banget sekarang ya?" Hardi mengambil jus ditanganku yang langsung diminumnya, aku memerhatikan wajahnya sebentar sebelum memberikan jawaban.

"Hype gimana? Konsepnya udah ada dari kapan tau," jawabku santai, mengambil gelas jusku lagi, ketika aku melirik sisa jus yang ada di dalam gelas itu, aku berdecak sebal sembari menatapnya. "Katanya tadi enggak mau kayak kambing minum jus wortel sama sayur?" Protesku tidak terima, gara-gara dia tadi tidak mau dibuatkan jus yang sama, aku harus membeli beberapa macam buah di supermarket terdekat kontrakanku.

Hardi terkekeh tak bersalah, kemudian mengambil gelas jusnya yang ada di depan kami. "Itu.... satu grup sama kantorku lagi mau ngembangin town house katanya, apa bedanya sih sama hunian biasa?"

Aku menatap Hardi sepenuhnya. "Beda jumlah sama rumah cluster. Dari segi harga sama fasilitas juga beda. Mau dibangun dimana?"

"Masih survey tempat sama harga lahan."

Aku mengangguk. "Biasanya memang lebih mahal karena letaknya tengah kota. Di Jakarta Selatan juga banyak tipe town house."

Hardi mengangguk-anggukkan kepalanya, sepertinya cukup puas dengan jawabanku. Dia memang beberapa kali bertanya padaku perihal beberapa proyek di kantornya. Apalagi dulu saat dia menangani revitalisasi Kota Pusaka. Aku benar-benar terkekeh ketika dia menceritakan dia tidak tahu apa-apa. Memang bukan dia sih yang mendesain ulang, tapi tetap saja dia yang dilibatkan dalam proyek itu kelimpungan memahami konsep. Padahal dia kan bagian yang tidak berhubungan dengan itu semua tapi dituntut harus mengetahui seluk beluk proyek.

"Kenapa?" Tanyaku, ketika tampak sekali dia berpikir keras.

"Kalau ada lahan, katanya mau dibangun di Jakarta Timur, Gi. Kamu mau?"

Aku mengerinyitkan dahi. "Maksudnya?"

"Yaa ini internal karyawan aja sih, kalau kami ikut DP katanya ada diskon dikit, dari sekarang udah masukin nama. Gimana?"

"Bukannya kamu lebih suka di apartemen?"

Hardi terdiam pelan. "Iya benar, tapi kamu lebih suka yang ada tetangganya." Aku menggembungkan pipi mendengar penuturannya, dia yang melihat ekspresiku buru-buru melanjutkan.

"Kalau kamu enggak mau, aku tetap masukin nama, lumayan buat investasi." Dia mengalihkan pandangan dariku dan meminum jusnya. "Lagian jaraknya dari kantor, enggak terlalu jauh juga." Hardi mengangguk-anggukkan kepalanya, sejak pertengkaran kami kemarin dia tampak lebih hati-hati membahas masa depan, mungkin sedikit kewalahan dengan tanggapanku yang berlebihan.

"Ada budget memangnya?" Tanyaku penasaran.

Hardi menganggukkan kepalanya. "Karena kemarin kamu belum mau nikah cepet, yaudah aku alokasikan kesana dulu. Enggak terlalu pengaruh juga."

Aku terdiam menatapnya, entah kenapa aku jadi merasa sangat membebaninya. Perasaan yang sama kurasakan setiap aku melihat Hardi kekeuh ingin menikah yang mengakibatkan pertengkaran kami beberapa waktu lalu.

Aku bertanya pada diriku sendiri, bagaimana kalau pada akhirnya akulah yang menyebabkan Hardi sedih? Bagaimana kalau pada akhirnya aku tetap tidak bisa melanjutkan apapun dengannya.

Pemikiran itu membuat rasa bersalahku kepada Hardi semakin memuncak. Aku mengusap pelan bahu Hardi yang membuatnya menoleh."Kamu udah persiapkan semuanya?"

"Persiapkan apa?"

"Pernikahan?"

Hardi mengerinyitkan dahi. "Yaa.. tabungan nikah itu pasti ada dari awal, Gi. Kenapa memangnya?"

Allure | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang