Part 22

15.1K 2.2K 73
                                        



"Lo yakin?"

Aku menghentikan langkahku dengan cepat, kami tengah berkumpul di rumah Ardityo dan Juli untuk menyerahkan kado sebelum Baby G dilahirkan. Bukan apa-apa, Hardi mengatakan bahwa dia cukup sibuk dalam sebulan ini dan khawatir tidak bisa melihat saat hari-H. Aku yang jam kosongnya lebih fleksibel menawarkan agar aku saja yang datang, tapi Hardi memaksa dia juga ingin bertemu dengan Ardityo dan Juli.

Ternyata, memang ada yang ingin dia bicarakan dengan Ardityo.

Hardi memang tak pernah mengekangku, juga memberikan kebebasan kemanapun aku pergi. Mungkin karena dia terlalu mengenalku, atau memang Hardi tipe pasangan seperti itu.
Tidak juga sih, dia cukup rese kalau aku ada acara kumpul angkatan atau reuni bersama teman-teman lama.

"Gia itu takut sama pernikahan, lo yakin?" Aku yakin di ruang tengah itu hanya Ardityo yang ada, Juli beberapa saat lalu pamit untuk mengambil kain di rumah tetangga mereka. Katanya, sebelum melahirkan, Juli memang harus banyak berjalan agar persalinannya lancar. Dia juga ditemani adiknya yang sudah stay dari seminggu yang lalu. Takut kontraksi tiba-tiba.

Padahal menurut dokter kandungan Juli, akan sedikit sulit bagi Juli untuk melahirkan normal karena jalan lahir yang sempit. Ardityo sudah booking tanggal untuk persalinan caesar, lebih aman untuk ibu dan bayi katanya. Padahal Juli ingin persalinan normal, segala cara dia lakukan agar kuat dan bisa melahirkan secara normal.

Aku dan Hardi hanya menonton mereka berdebat tadi, sampai Juli mengingat bahwa ada baju yang ingin dia pakai saat melahirkan dan dijahit di tetangga mereka. Adiknya langsung diminta untuk menemani, sekalipun mendapat tatapan was-was dari Ardityo.

Baik Ardityo atau Hardi memang tipe laki-laki yang cukup perhatian. Kalau tidak kenal maka sangat mudah terbawa suasana, aku dan Juli di Papua diurusi dengan baik. Mereka selalu sedia apabila kami ingin menyicip suatu makanan atau hanya sekedar pergi jalan-jalan.

Tapi sejak menikah, Ardityo memang lebih luwes dan dewasa, dia masih menanggapi ucapan konyolku, tapi benar-benar berbicara jorok ketika hanya ada kami berdua. Di depan Juli, dia berusaha menjadi panutan dan pemimpin sekaligus. Meskipun kadang cuek, dia berusaha untuk selalu memerhatikan kenyamanan Juli.

Setelah Juli pergi dari rumah, aku juga pamit ke kamar mandi karena sakit perut. Kupikir aku akan nongkrong lama di kamar mandi, ternyata tidak sama sekali. Aku memang beberapa hari ini mengalami masalah pencernaan, padahal aku rutin memakan jus dan buah.

"Lo tahu sendiri dia takut pernikahan tapi malah ajak dia menikah? Di, lo yang kenapa?" Suara Ardityo lagi.

Aku menahan napas dan tak ingin melanjutkan langkah, aku juga ingin mendengar jawaban Hardi. Aku juga ingin mendengar pemikirannya akan diriku diluar yang selalu dia ucapkan saat bersamaku. Aku sedikit cemas Hardi menyerah bersamaku. Bagaimanapun aku tahu sendiri, Hardi berusaha keras.

"Jangan ngomongin itu lah, Dit! Bikin gue pusing aja lo," Hardi tampaknya mengelak.

"Trus jalani aja nih hubungannya?"

"Enggaklah, gue kasih dia deadline buat berpikir."

"Lo bakalan lebih nyakitin dia kalau gagal."

"Gue tahu."

"Trus kenapa lo ambil resiko ini?"

Hardi menghela napas dalam. "Ya sampai kapan dia takut? Masa takut terus?"

"Kita enggak tahu apa yang dia lalui, man. Sampai bikin dia begini."

"Nah itu, gue ajak konseling juga enggak mau. Gue buntu, Dit. Makanya gue ajakin kesini, biar ngelihat sendiri kalau lo sama Juli enggak buruk-buruk banget pernikahannya." Aku menahan napas panjang dan membiarkan mereka melanjutkan percakapan mereka.

Allure | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang