14:Teka-Teki Keempat

30 8 0
                                    

Written by: Arvina

* * *

Setelah mengisi perut hingga kenyang, mereka melanjutkan perjalanan menelusuri taman yang tampak mengerikan itu. Langkah kaki Edwin, Andy dan Rachel terhenti setelah mendengar suara melengking yang berasal dari balik Pohon oak tua di hadapan mereka. Pohon oak itu sudah tak lagi berdaun dan tampak tua.

Mereka saling memandang, kemudian mengawasi sekeliling dengan kuda-kuda untuk bertahan. Tak lama setelah suara lengkingan itu terdengar, mereka dapat melihat bayangan anak kecil mengintip dari balik pohon. Kaki Rachel menegang, wajahnya mulai pucat pasi mengingat kejadian-kejadian sebelumnya.

“Keluar!” Andy mencoba terlihat kuat dan pemberani, walau dalam hatinya ia sangat takut tak akan bisa keluar dari tempat terkutuk itu.

“Andy, jangan menambah keruh.” ucap Edwin sambil memegang bahu Andy untuk menenangkannya. Ia tahu, mencoba marah saat ini adalah tindakan bodoh dan hanya menjadi angin lalu bagi para monster kecil yang malah semakin senang dengan kemarahan mereka.

Anak kecil bertopeng kucing dengan balutan gaun putih yang lusuh itu keluar, melambai ke arah mereka bertiga seakan menyambut mangsanya ke dalam jurang neraka. Tangannya yang mungil terangkat dan menunjuk tepat di wajah Edwin.
“Jika kau berhasil menjawab teka-teki, kalian akan selangkah untuk menebak nama kota ini. Jika gagal, akan kubawa dirimu ke jurang sepi.” Edwin terpaku, begitu juga Rachel dan Andy.

Gadis cilik yang tampak polos itu seakan menunjukkan taringnya yang menyeramkan. Peraturan tadi mengatakan bahwa mereka tidak boleh berbicara atau bahkan menatap anak bertopeng kucing. Mereka juga mengira hanya akan menerima kertas perkamen dan menjawabnya. Kini Edwin, Rachel dan Andy harus berhadapan dengan gadis kecil yang tak boleh mereka temui, dan mendapatkan teka-teki selanjutnya secara langsung.

“Baiklah. Jika ini bisa membawa kita selangkah untuk keluar, maka aku akan mengikuti permainanmu,” balas Edwin dengan tegas. Matanya berbinar menunjukkan kobaran semangat untuk terbebas dari perangkap kota aneh itu. Rachel dan Andy yang awalnya ketakutan mencoba untuk terlihat berani dan mendukung Edwin.

“hihihihi ….” Gadis itu tertawa di balik topeng kucingnya, “Tebak ya.” Tubuh gadis itu terangkat, melayang mengelilingi Edwin yang mulai dilanda rasa takut.

“Aku adalah pusat dari permainan kecil anak-anak. Aku adalah dengungan kemesraan dan perdamaian. Aku adalah pengikat dan pencemburu. Siapakah aku?”  Gadis itu kembali mengangkat tangannya dan menunjukkan tiga jari kemudian mengubahnya menjadi bulatan kecil. Edwin, Rachel, dan Andy paham betul bahwa waktu menjawab teka-teki absurd itu hanyalah tiga puluh detik.

Tidak hanya wajah Edwin yang menegang, Rachel dan Andy pun ikut merasakan beban yang harus ditanggung sahabatnya. Setiap detik berjalan begitu lambat dan juga begitu cepat, seakan konsep waktu hanyalah permainan kecil yang telah disabotase oleh gadis licik itu.

“Ed…” Rachel terdiam ketika gadis bertopeng kucing mengisyaratkan untuk diam dengan meletakkan jari telunjuk kecilnya ke udara. Andy, mencoba mencari celah untuk membantu sahabatnya. Namun, ia bahkan tak tau apa jawaban dari teka-teki itu. Andy yakin bahwa Edwin lah satu-satunya yang bisa menjawab.

“15 detik lagi, hihihi …Apakah terlalu sulit? Aku kasih petunjuk ya, melihat wajahmu yang pucat pasi membuatku kasihan. hihihi.” Edwin menatap tajam gadis yang sedang duduk di dahan pohon oak.

“Clue-nya adalah … Aku adalah semak-semak. hihihi, tapi semak-semak apa ya?” Kucing kecil itu telah sukses membawa rasa takut menjalari tubuh ketiga mangsanya. Petunjuk yang sederhana tetapi terlalu luas untuk ditebak.

“Berpikir.” gumam Edwin sambil menjambak rambutnya sendiri. Andy mencoba menenangkannya, tetapi sekali lagi dihalau oleh kucing licik itu.

“Ingat Anthony? Sayang sekali ia harus mati sebelum mencicipi rusaknya dunia, hihihi.” Mata Edwin terbelalak, kenangan lama mulai membanjiri otak Edwin.

“Ed!” panggil Rachel setelah melihat temannya meneteskan air mata, mencoba membawanya kembali pada realita saat ini. Realita yang mereka harap hanya mimpi belaka.

“Aku tahu!” teriak Edwin, ia berbalik dan mendapati wajah pucat pasi di kedua sahabatnya. Rachel hampir menangis, dan Andy menunjukkan wajah penuh rasa khawatir.

Edwin dapat merasakan hawa dingin yang menyusup dari belakang lehernya. Hawa dingin itu menjalari setiap sel yang ada di dalam tubuhnya, seiring badannya mulai menegang Edwin dapat mendengar bisikan paling menyeramkan di dalam hidupnya.
“Terlambat.”

Gadis kecil bertopeng kucing itu bersamaan dengan tawa yang melengking dan embusan angin yang kencang menghilang tertelan kesepian yang datang setelahnya. Edwin, Rachel dan Andy membentuk lingkaran dan saling berjaga jika ada sesuatu menyerang mereka. Sudah dua menit rasanya mereka dalam tahap waspada, tetapi yang terdengar hanya suara burung hantu di tengah kesepian malam.

“Apa jawabannya? Siapa Anthony?” tanya Rachel, matanya masih menunjukan kewaspadaan. Edwin menatapnya cukup lama, kemudian ia menarik nafas dan mengeluarkannya dengan suara yang cukup keras.

“Anthon adalah sahabatku ketika masih kecil, kami selalu bermain bersama di bawah pohon oak yang ada di halaman rumahnya. Kami selalu menyanyikan sebuah lagu ketika bermain bersama. Dia meninggal ketika usiaku 6 tahun karena Leukemia yang ia derita. Aku masih menyalahkan diriku hingga saat ini karena tidak bisa menyelamatkannya." balas Edwin sambil menunjukkan senyumnya yang terasa pahit.

Rachel dan Andy dapat merasakan rasa sedih kehilangan yang terpancar dari wajah Edwin. "Lagu itu adalah jawabannya, judulnya here we go around the… Ahh!” Edwin teriak dengan sangat keras ketika ada sensasi menyakitkan yang berasal dari kakinya.

Mereka bertiga menujukkan wajah ketakutan ketika melihat seekor anjing berkepala labu menggigit kaki Edwin dan mencoba menyeretnya ke semak-semak Mulberry.

“Edwin! Bertahanlah!” teriak Andy, ia dan Rachel memegang tangan Edwin sambil berusaha mengusir anjing itu. Edwin pun mencoba menendang ajing ganas itu, tetapi tampaknya tak berpengaruh melihat kekuatan menarik anjing itu yang malah semakin bertambah.

“Sial!” Andy menatap tajam ke arah segerombolan anjing berkepala labu yang datang membantu menarik Edwin. Rachel berusaha untuk menghalaunya, meneriakinya pun telah ia coba.

Anjing-anjing itu tampaknya tak terganggu dan fokus dengan tujuannya, menarik Edwin ke arah semak Mullbery. “Kalian harus segera pergi.” ucap Edwin sambil tersenyum. Rachel sudah menangis dari tadi, sementara Andy yang masih menarik Edwin tak rela melepaskan tangan sahabatnya.

What are you talking about, friends never leave!” tukas Andy, matanya mulai mengeluarkan Air mata.

“Tidak Andy, sahabat harus rela berkorban demi sahabatnya yang lain. Pergi, aku akan baik-baik saja.” Edwin perlahan melepaskan genggaman Andy yang mulai melemah karena sejak beberapa menit yang lalu terus menahan Edwin untuk dibawa oleh anjing berkepala labu.

“Halloween tahun depan aku usulkan untuk menonton film horror saja ya,” ucap Edwin, sebelum akhirnya genggaman itu benar-benar terlepas dan segerombolan anjing itu berhasil menariknya menjauh.

“Edwin!” Andy dan Rachel hanya bisa meneriakkan nama sahabatnya yang telah menghilang di balik semak Mulberry.
Mereka berdua terduduk di tanah yang terasa dingin, Rachel menutup wajahnya yang penuh dengan air mata. Andy menatap semak Mulberry kemudian menatap pohon oak yang kini memiliki satu daun di salah satu rantingnya.

Here we go around Mulberry Bush … Mulberry bush, Mulberry bush.” Nyanyian bermain terdengar seiring anak-anak bertopeng hewan memutari mereka. Andy memapah Rachel untuk bangkit, melihat sekeliling hanya untuk bertemu dengan tembok anak kecil yang penuh kegelapan.
Mereka berdua saling menatap, lama sekali rasanya hingga lagu yang dinyanyikan dengan nada terdengar seram berhenti. Perlahan anak-anak itu menghilang bersama angin yang entah datang dari mana.

“Edwin. Dia akan baik-baik saja, kan? Iya, kan?” Rachel mengguncang bahu Andy meminta jawaban. Andy hanya bisa terdiam, bibirnya seakan berat untuk diajak bergerak.

“Rachel, kita harus keluar dari sini. Setidaknya untuk Edwin, kita harus keluar dan mencari cara menolongnya.” Rachel dapat melihat kesedihan yang coba ditutupi Andy dalam sorot matanya. Ia mengangguk dan mencoba tersenyum untuk memecah rasa sedih itu. Tim mereka tidak akan pernah lengkap tanpa Edwin.

Andy dan Rachel kembali menatap pohon oak tua yang disinari rembulan, di ujung ranting dapat mereka lihat sebuah daun hijau yang tidak ada sebelumnya. Menopang aura kehidupan yang sempat mati dari pohon itu. Mereka merasakan angin semilir yang menari-nari bersama helaian rambut Andy dan Rachel. Edwin akan selalu ada bersama perjalanan mereka bahkan sampai akhir nanti. Entah apalagi yang akan terjadi, tetapi yang pasti Andy dan Rachel yakin bahwa semua akan berakhir. Akhir yang baik atau buruk.

* * *

14, Oktober 2020

The Answer Is ... MIDVILLE! (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang