Written by: Putri
* * *
"Peta!"
Seketika itu juga, Cinderella berteriak keras. Darah segar berembas keluar dari matanya, wajahnya yang menyeramkan tak bisa menyembunyikan kesakitan. Seakan terbakar oleh api tak kasat mata, tubuhnya berubah menjadi abu hitam. Terbang tertiup angin.
“An kita berhasil, kau benar.” Rachel berteriak haru memeluk Andy yang juga tersenyum membalas pelukannya. "Aku yakin kita akan segera menemukan Edwin.” Rachel berucap yakin, matanya berbinar kembali menemukan semangatnya.Andy mengangguk ikut merasakan semangat itu. Keduanya kembali melanjutkan perjalanan. Menyelusuri tempat yang sekarang ini tak ingin mereka kunjungi bahkan di alam mimpi. "Sekarang bagaimana, Rach?” Andy membuka obrolan setelah beberapa menit suasana legang menguasai perjalanan keduanya.
“Aku juga tidak tahu An, yang ada dalam pikiranku hanya menemukan Edwin dan keluar dari tempat terkutuk ini!” Rachel berucap terselip kobaran kemarahan dalam intonasinya.
“CELAKA!”
Andy dan Rachel terkejut, netra keduanya menajam. Berusaha mencari sosok yang baru saja bicara. Kegelapan yang mengelilingi membuat mereka kesusahan. Cahaya bulan yang redup, tak bisa membantu. Angin berembus, seperti bisikan kematian masuk menelusuk di indra pendengaran keduannya. Rachel memegang lengan Andy, tangannya bergetar pikirannya seperti dipenuhi oleh semua kenangan kelam.
“An ... Andy ... apa lagi ini?” Rachel berucap, suaranya tertekan tampak takut. Belum sempat. Andy menjawab sosok anak kecil bertopeng musang muncul di depan mereka. Tertawa sinis.“Kalian melakukan kesalahan, ingat jawaban teka-teki ketiga. Apa yang kalian tanam itu yang kalian dapatkan nantinya. Waspada dalam berucap. Kalian mendapatkan hukuman!” Sosok anak berkepala musang itu berucap tegas matanya melotot.
Diseperkian detik tubuhnya melayang, bergerak maju menghadang Andy dan Rachel matanya yang melotot hampir keluar dari tempatnya. Kepalanya yang bertopeng musang bergerak gerak seperti hampir pisah dari tubuhnya. “BERSIAPLAAH." ucapnya lebih seperti bisikan kematian. Lalu menghilang di detik berikutnya.
Belum sempat mengatur napas dengan baik Rachel berteriak.
“ANDY! Arah jam tiga!”
Andy terdiam membeku, matanya terbelalak. Sosok hijau kerdil datang dari arah jam tiga. Telinganya panjang, mata besarnya bersinar di tengah kegelapan malam. Di ujung hidungnya terdapat taring kecil. Sosok itu menggeram, membuka mulutnya lebar lebar menampakan giginya yang tajam dan berlendir. Di ujung lengan kiri ia menggenggam pedang yang tampak berlumuran darah. Kuku kukunya tajam dan panjang seakan sekali saja ia mencakar cukup untuk memutilasi tubuh anak manusia.
“Aarrgghh....” Ia kembali menggeram, mulutnya yang berlendir itu kembali terbuka lebar, seperti memanggil sosok yang lainnya.Sekitaran dua belas meter dari jarak Andy dan Rachel berdiri tetap saja tercium bau busuk dari sosok itu. Seperti bau bangkai dan bau amis darah. Tak sampai satu menit sejak ia mengeluarkan suara, sekawanan lainnya muncul di belakangnya. Mata kuning mereka bersinar sinar ditengah malam yang gelap hampir menyaingi sinar bulan yang sedari tadi redup. Sosok hijau yang pertama kali muncul mulai bergerak maju, menyeret kaki kanannya yang pincang lalu kawanan lainnya ikut bergerak.
“LARI! Lari, Rach!” teriak Andy, ia menarik tangan Rachel yang sedari tadi terdiam mematung. Keduanya berlari tak tau arah, pikiran mereka buyar tak tau lagi harus melakukan apa, sementara belasan meter dari jarak mereka sosok hijau itu terus mengikuti.
“Apa itu, An?” Rachel bertanya di sela-sela deru napasnya berlari.
“Goblin. Itu Goblin, Rach.” jawab Andy, suaranya ia naikan satu disabel. Berlari membuat ia tak bisa mendengar suaranya sendiri.
Rachel menengok ke belakang kawanan Goblin itu masih mengikuti mereka, ia kembali menatap Andy. Bahkan melihat sosok hijau itu untuk sedetik saja membuat kepalanya pusing. Ia kembali mengingat-ingat apa yang Ia dan Andy ucapkan sampai bisa mendapat hukuman seperti ini. Tapi otaknya tak mau berpikir tak bisa diajak kerja sama. Suasana genting ini membuatnya frustasi. Ia berpikir dan berpikir tak mungkin mereka terus berlari seperti ini.
“Rachel!” Suara Andy mengagetkannya. Mereka berdua berhenti, mengatur napas masing-masing. “Ayo Rach kita sembunyi.” Andy mengajak Rachel bersembunyi di sebuah pohon besar. Kegelapan membuat mereka berdua tampak seperti bayangan.
“Bagaimana ini, An? Kita harus terus berlari Goblin itu akan mendekat.” ucap Rachel sambil mengatur napasnya yang ter engah-engah.
“Tenang, Rach.” Andy menenangkan. “Para Goblin itu bodoh. Lihat saja pasukannya bisa saja berlari cepat mengejar kita. Tapi mereka tak melakukannya. Tetap berlari di belakang, menunggu pimpinan mereka yang berkaki pincang. Itu cukup memberi kita waktu untuk beristirahat di sini, " jelas Andy tegas.
Rachel menghembuskan napas lega, ia mengangguk pada Andy. Pikirannya buyar, entah tentang Edwind, tentang anak kecil yang bertopeng musang, tentang Goblin, tentang serangkaian kejadian aneh yang mereka lalui di Halloween town.
Ia frustasi, ia marah ingin berteriak sekencang mungkin melampiaskan segala rasa frustasinya. Matanya meneteskan bulir bening, ia ingin menyerah tapi ia kembali mengingat Edwin, mengingat Nenek, mengingat kedua orang tuanya. Mengingat bagaimana cara ia dan teman-temannya terbebas dari kota ini. Malam ini terasa sangat panjang.
“Ini salahku An, salahku. Salahku mengajak kalian berlibur bersama, salahku membuat kalian masuk di kota ini, salahku telah mengucap kata itu.” Rachel berucap frustasi, suaranya bergetar.
“Tenang Rach, jangan menyalahkan dirimu. Kita cari solusinya bersama.” Andy berucap, berusaha menenangkan Rachel.
“Kamu ingat jawaban dari teka-teki ketiga, An?” Rachel bertanya retoris. Membuat Andy reflek menggeleng.
“Jawabannya adalah HATI-HATI dan aku mengabaikan itu. Aku menyebut kota ini terkutuk. Itu membuat kita menuai hukuman. Goblin itu muncul karna aku. Aku yang tak menjaga ucapanku.”Belum sempat Andy menanggapi, segerombolan cahaya kuning muncul dari arah kanan. Bersamaan dengan suara geraman marah dari para goblin. Bola matanya yang besar terlihat seperti senter dari kejauhan. Mulutnya yang berlendir berkoar koar meneriakan geraman yang tak bisa dimengerti. Bau amis darah dan bangkai mulai menusuk indra penciuman. Para Goblin itu sudah mulai mendekat. Pimpinannya yang berkaki pincang menghunuskan pedang ke arah Rachel dan Andy.
“Ayo Rach, kita lari.” ajak andi pada Rachel yang kini terdiam membisu. Terpaku melihat kawanan Goblin itu. Ia kemudian mengusap pipinya yang basah. Tak bisa dibiarkan. Nalurinya berucap tegas.
“Kita tak bisa selamanya lari, An.” Balasnya kepada Andy. “Kita lawan!” lanjutnya tegas.
Kemudian keduanya mendengar suara tepuk tangan, dan seketika para Goblin itu menghentikan langkahnya. Andy dan Rachel saling menatap. Mereka terkejut. Para Goblin itu benar benar berhenti. Diam. Diam dalam artian sebenarnya. Seperti ada yang menghentikan waktu mereka. Tidak ada yang bergerak satu incipun.
Belum selesai masalah itu, Andy dan Rachel kembali dibuat terkejut dengan kemunculan anak kecil bertopeng musang tadi. “Ini adalah belas kasih atas keberanian kalian hihihi.” ucapnya di akhiri tawa menyeramkan. Ia melemparkan sebuah perkamen lusuh kepada Andy dan Rachel kemudian menghilang bersama kegelapan malam. Itu teka-teki selanjutnya.* * *
17, Oktober 2020.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Answer Is ... MIDVILLE! (TERBIT)
HorrorRachel, Andy, dan Edwin. Tiga remaja penyuka misteri. Suatu hari, tantangan sepele membawa mereka dalam masalah. Masuk ke sebuah kota misterius bernama Halloween. Tak ada yang tau nama asli kota itu, sementara jalan keluar satu-satunya adalah dengan...