30:Jawaban Teka-Teki Terakhir

20 7 0
                                    

Written by: Ania

****

“Pertanyaan pertama.” Mr. Bellua memulai. Rachel menelan air liurnya pertanda sedang menahan rasa takut. Ia tidak ingin ketakutan menyesatkan otaknya. Saat ini, organ tubuh itu berperan penting dalam menjawab pertanyaan Mr. Bellua. Edwin pun tak jauh berbeda dengan Rachel. Laki-laki itu juga takut setengah mati.

“Dibaca apa lambang atom dari nomor 57, 5, dan 92?”

"Rachel, ingatlah pelajaran yang di sekolah!" teriak Edwin.

Rachel mencoba mengingat pelajaran yang membosankan waktu di kelas, ia harap ada beberapa yang masuk ke dalam otaknya. Karena tak mau membuang waktu lama, Rachel pun berusaha menjabarkan nomor atom yang ia ingat. "Nomor atom 57 adalah Latanium, nomor atom 5 adalah Boron, dan nomor atom 92 ... hem—" ucapannya mengambang karena ia melupakan satu nomor atom tersebut.

Hingga akhirnya Edwin menyahut, "Nomor atom 92 dibaca uranium. La-b-u, labu! Jawabannya labu!"

Keduanya sama-sama menatap Mr. Bellua, untuk memastikan apakah jawaban mereka benar atau tidak. Namun, Mr. Bellua tertawa dengan penuh kelicikan, dan hal itu membuat Rachel maupun Edwin sangat tak sabar dibuatnya. "Smart kids! Jawaban kalian sangat tepat."

Rachel dan Edwin bersamaan bernafas lega, mereka sangat tegang dan ketakutan, karena bila saja mereka menjawab salah maka Mr. Bellua tak akan menyia-nyiakan hal itu untuk menyiksa keduanya. Tapi untung saja, otak yang selalu enggan menerima pelajaran di kelas itu akan berguna saat ini untuk Rachel dan Edwin.

"Sepertinya sebuah labu tak perlu kujelaskan hubungannya dengan kota ini, kalian sudah cukup pintar untuk menyambungkannya," kata Mr. Bellua. Lalu dia semringah kembali, tapi tetap saja hal itu membuat Rachel dan Edwin kembali tegang, karena pasti akan ada pertanyaan selanjutnya. "Mari kita lanjut ke pertanyaan kedua. Aku ingin sedikit bermain teka-teki kembali dengan kalian."

Rachel menelan salivanya sembari melirik Edwin, yang menatapnya dengan menyiratkan bahwa Rachel harus yakin. Demi menebus rasa bersalah dan penyesalan, Rachel harus melewatinya, ini tahap terakhir dan semoga bukan akhir dari sebuah keberuntungan.

"Dipercaya tapi nyatanya dusta, ada namun ternyata tidak ada. Orang selalu berlomba untuk menjadikannya kenyataan." Mr. Bellua menjeberkan teka-teki yang harus dijawab Rachel dan Edwin. "Jawablah!" Lalu senyuman simrik itu terlihat di wajah Mr. Bellua.

Rachel muak dengan teka-teki, hal itu selalu saja membuatnya terjebak. Tapi kini, ia tak bisa menawar, yang harus dilakukan adalah berpikir. Sama pun dengan Edwin, walau raganya kini sangat lemah dan letih, ia harus bisa mengandalkan pikiran. "Dusta, dan tidak nyata. Apa kah kau tahu, Rach?" suara Edwin sedikit meningkat, agar terdengar.

Gadis itu melirik sekilas Edwin dengan tidak yakin, pikiran Rachel benar-benar bergulat. Tapi ia tak bisa mengulur waktu banyak, hingga akhirnya Rachel terpaksa melontarkan jawaban yang dia sendiri belum yakin. "Jawabannya ... Hantu."

Sontak saja tawa menggelegar terdengar dari pria berjubah hitam tersebut dan anak-anak bertopeng di sana. Rachel dan Edwin sama-sama mengerutkan dahinya. "Salah! Jawabanmu salah!" Dengan riang Mr. Bellua mengucapkan hal itu.

Rachel sudah berkeringat dingin, dia menatap Edwin seolah meminta maaf. Rachel sama sekali tak ingin ini terjadi. "Kau bodoh sekali Rachel! Dan sekarang buah hasil sebuah kesalahan akan kuberikan pada kalian berdua!" Mr. Bellua menatap tajam.

Mr. Bellua kemudian menjentikkan jarinya, seketika sebuah pisau menancap tepat di sisi telinga Rachel, hal itu membuat Rachel sendiri menahan nafas. Lalu dapat dilihat kampak yang ada di atas Edwin mulai merosot turun sedikit. Kini, kedua sahabat itu terjebak antara hidup dan mati.

"Sekali kalian menjawab salah, maka senjata tajam itu akan semakin dekat dan melukai kulit kalian. Maka, jawablah dengan tepat." ucap Mr. Bellua seraya tersenyum penuh kelicikan kembali.

"Lalu jawaban yang benar itu apa?" tanya Rachel, merasa penasaran.

"Kemustahilan. Itulah jawabannya," jawab Mr. Bellua. "Manusia selalu menginginkan kemustahilan menjadi nyata. Egois sekali bukan? Dan apa yang ada di Halloween Town, semuanya adalah kemustahilan. Tapi kalian telah lancang untuk mematahkan stigma itu."

"Tapi memang terbukti 'kan, kalau kota ini memang ada?" kata Edwin.

"Ya, aku akui itu. Tapi kota ini ada hanya untuk anak-anak berambisi seperti kalian." Sekali lagi tawa penuh kelicikan itu menggema. Mr. Bellua kemudian, menatap tajam kembali, "kita ke pertanyaan selanjutnya. Dan untuk kamu Rachel, jangan jadikan jawabanmu sebagai senjata untuk melukaimu ataupun temanmu ini."

"Sudahlah, cepat katakan!" Rachel sungguh tak sabar. Ia ingin segera lari dan terbebas dari kota sialan ini.

Mr. Bellua seolah menyukai ambisi Rachel kala itu. "Terkadang hal itu bisa memecah belah sebuah ikatan. Hadir hanya untuk menguntungkan satu pihak. Kadang pula manusialah yang selalu menjadi sasarannya."

"Jawablah, waktu kalian tidak akan lama. Karena setelah ini aku akan mengajukan pertanyaan yang menjadi penentu segalanya," ujar Mr. Bellua, lagi.

Rachel melirik Edwin, ia sangat memerlukan bantuannya. Edwin yang mengerti kebingungan Rachel, lantas berujar, "kita sama-sama memecahkannya, Rach."

"Apa tidak clue?" tanya Edwin pada Mr. Bellua.

Cekikikan yang meremehkan terdengar darinya, "baiklah. Hanya satu clue, yaitu sebuah sifat."

Clue itu sedikit membuka pikiran Rachel saat itu, "jika itu sebuah sifat, sifat manusia manakah yang mampu memecah belah sebuah ikatan?" Rachel berujar pada Edwin.

Edwin terlihat berpikir, lalu dia tersenyum penuh arti. "Egois! Ego, sifat yang hanya menguntungkan satu pihak, dan manusia sering menjadi egois. Apa jawabanku benar, Mr?"

"Benar!" Akhirnya Rachel dan Edwin lagi-lagi bernafas lega. Setidaknya ketegangan mereda sesaat. "Sifat itu lah yang membawa kalian pada kota ini. Rachel, yang telah menjadi manusia egoisnya. Ambisi nya untuk mengungkap kota ini, telah berubah menjadi keegoisan tanpa disadari. Kesimpulannya, ego Rachel lah yang menyebabkan kesengsaraan saat ini."

Rachel terdiam. Dia menunduk penuh penyesalan, yang dikatakan Mr. Bellua adalah benar, semua benar. Karena ambisi terhadap sebuah kemustahilan, Rachel harus membawa Andy menjadi korban, dan Edwin menjadi tahanan. Pada akhirnya semua menjelaskan bahwa Rachel adalah orang egois. "Rachel, tolong jangan dengarkan perkataannya! Kamu tidak salah, semua pernyataan itu salah!" Edwin bersuara agar Rachel tak terhasut oleh Mr. Bellua.

"Aku tak bisa mengelaknya, Ed," lirih Rachel.

"Rach---"

"Cukup! Dramanya cukup di sini," potong Mr. Bellua, dengan jengah. "Aku ingin mengajukan pertanyaan terakhir dan ini menjadi penentu hidup kalian berdua. Berpikirlah lebih luas, dan tepat!"

Suasana menjadi tegang kembali. Rachel berjanji pada diri sendiri, bahwa tak akan mengucapkan jawaban tanpa berpikir lebih matang. Tidak akan ada lagi Andy lain yang membuat Rachel semakin bersalah. Ini yang terakhir, dan harus menjadi pengakhir yang baik pula.

Ruangan di sana menjadi dingin oleh atmosfer malam. Anak-anak bertopeng yang mengelilingi kini menundukkan kepala, mereka terdiam bagai patung. Rachel dan Edwin hanya bisa bertanya pada hati masing-masing.

"Apa nama asli kota Halloween Town?"

Teng ….

Jam besar yang ada di sana mulai berdentang, menandakan bahwa sebentar lagi tengah malam, yang artinya kota akan segera menghilang. Detak jantung Rachel dan Edwin berpacu cepat, mereka baru menyadari bahwa Mr. Bellua hanya mengulur waktu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tadi. Sehingga kini, hanya ada 12 kali dentang jam untuk keduanya menjawab.

Rachel menelan salivanya untuk ke sekian kalinya, matanya sudah memerah karena ketakutan. Sementara Edwin sendiri kebingungan, karena ia hanya menyelesaikan setengah perjalanan kala itu. "Rach! Ingatlah petunjuknya waktu memecahkan teka-teki bersama Andy!"

Rachel mencoba mengingat. Tentang huruf rancau antara W dan M, tentang patung kappa, tentang kompas. Semua terekam kembali di pikiran Rachel, dan rasanya otaknya akan meledak karena terus menuntut sebuah jawaban.

Teng ….

Jam terus berdentang kembali, dan terlihat Mr. Bellua asyik menjentikkan jemari seraya tertawa penuh kelicikan. Tangan Rachel membola, seolah menyimpan kekesalan amat luar biasa. Tapi ia tak bisa marah ketika waktu sudah menjadi penentu.

"Ed, waktu itu aku menemukan huruf rancau antara W dan M, katanya itu adalah huruf awal kota ini,” ucap Rachel memandang Edwin. “Ada ide huruf apa yang benar?”



***

30, Oktober 2020




The Answer Is ... MIDVILLE! (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang