73 | Dada Yang Terhimpit

233 42 5
                                    

Sebelum baca, jangan lupa untuk kasih vote ya! Lalu tinggalkan komen. Udah gratis, dapat pahala pula karena bikin orang seneng >_< oke, ya? >_<

KUATKAN HATI YA:)

Happy reading ✨
------------------------------

73. Dada Yang Terhimpit

"Makasih."

Pak Jaka mengangguk menanggapi ucapan Ray. Setelahnya, meneguk air mineral yang tadi dibeli oleh Ray. Keduanya sekarang tengah duduk di sebuah kursi pinggir jalan setelah tadi mondar-mandir mencari sekolah baru untuk Ray.

"Capek 'kan, Pak? Udah gue bilang, nggak usah ikut." Ray berbicara ketika melihat wajah kecapekan gurunya.

Pak Jaka langsung tersenyum hangat. "Nggak. Bapak masih semangat. Kita nggak boleh pulang sebelum kamu diterima di salah satu sekolah."

"Kayaknya udahan dulu aja, Pak. Lagi pula nggak gampang cari sekolah untuk anak yang pernah dikeluarin kayak gue."

"Nggak boleh. Harus sekarang, Ray."

"Tapi gimana? Kita udah mondar-mandir dari pagi belum juga ada sekolah yang mau nerima murid baru karena dulunya dikeluarin."

"Lagi pula jarang-jarang sekolah yang mau nerima murid baru di waktu yang mau liburan semester kayak gini," lanjut Ray. Yang menurut Pak Jaka itu adalah bentuk kekecewaan dirinya. Pak Jaka terdiam. Entah bingung harus berbicara apa. Kepalanya menunduk sembari berpikir harus berbuat apa. Ray yang sadar akan ekspresi gurunya pun menyesal berucap seperti tadi. Tidak boleh, dia kan sudah berjanji untuk akan tetap sekolah.

"Kita cari sekolah yang biasa aja. Gimana? Lagi pula sekolah bagus-bagus kayaknya nggak cocok buat gue. Cuma bikin gue tertekan aja."

Pak Jaka dan Ray turun dari motor, melepas helm kemudian saling memandang. Ray tersenyum, sedangkan Pak Jaka memasang wajah datarnya. Mereka baru saja sampai di salah satu sekolah yang tidak mewah setelah tadi Pak Jaka menyetujui perkataan muridnya itu.

"Serius nggak papa di sini?"

Ray mengangguk mantap, "Hm. Bagi gue sekolah di mana pun itu sama aja."

Pak Jaka mengangguk. Kemudian memimpin berjalan masuk ke dalam. Dia juga tidak bisa memaksa keinginan Ray. Tadi anak itu sempat membuatnya berpikir bahwa dirinya terlalu memaksa agar Ray harus bersekolah di sekolah elite seperti dulu. Bukan apa-apa sebenarnya, alasan dia dari tadi kekeh meminta agar Ray bersekolah di sekolah elite adalah ingin melihat Ray mendapatkan pendidikan yang sedikit lebih bagus saja. Tidak lebih dari itu.

Beberapa menit telah berlalu, kedua pria sedang berjalan menyusuri lorong kelas dengan senyum yang tersungging di bibir masing-masing.

Ray menghela napas lega, "Akhirnya gue bisa terhindar dari tatapan kagum dari cewek-cewek."

Pak Jaka tersenyum, sedikit menahan tawa. Kasihan juga sebenarnya, benar apa kata Ray, sejak menjelajahi lumayan banyak sekolah dari pagi, tiap hinggap di satu sekolah, Ray menjadi pusat perhatian anak cewek.

Pak Jaka kemudian memberikan surat bukti diterimanya Ray di sekolah bernama SMA Negeri Cahya. "Selamat. Masa pengangguran anda telah berlalu." Membuat keduanya tertawa bersama.

"Makasih banyak." Ray menyahut seraya mengambil surat dari tangan gurunya, tubuhnya sedikit membungkuk hormat. Membuat keduanya kembali terkekeh bersama.

***

Seorang cowok yang berdiri di balkon kamarnya menyeruput kopi hitamnya. Setelah seruputan pertama, dia langsung memasang wajah masamnya. Ah, rasanya tetap sama, tidak enak. Bukan, bukan tidak enak. Hanya saja dia memang tidak suka kopi. Tapi karena ingin merasakan walaupun tahu dia tidak suka, makanya dia minum.

Ethereal [END]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang