67. Batu Es

1.5K 161 58
                                    

Sudah dua minggu ini terhitung Armila mengajar di sekolah menengah atasnya dulu. Dimana sekolah itu berbasis islam. Armila juga banyak sekali mengisi tugas untuk skripsinya disaat waktu luang. Di sekolah tersebut Armila mengajar pelajaran pendidikan kewarganegaraan, aqidah akhlak, juga biologi di kelas sepuluh ipa.

Seorang guru lelaki menghampirinya dengan membopong sebuah bola basket di tangannya.

"Assalamu'alaikum, Armila. Nanti siang ada jadwal kelas?"

"Wa'alaikumussalam, Pak. Kebetulan kelas saya pagi, jadi nanti siang saya mau rekap data anak-anak di kantor."

"Oh gitu, mau makan siang sama saya?"

"Um, " Armila tampak berpikir. "maaf, Pak, saya nggak bisa. Permisi." kata Armila berlalu meninggalkan guru lelaki yang ternyata merupakan guru olahraga di sekolah itu.

Guru olahraga itu sepertinya bisa mengendalikan ini semua.

Benarkah?

Di kantor.

"Kak, aku males deh jadinya." katanya sambil duduk lesu di meja kerjanya.

"Kok bisa, kenapa?"

"Jujur aku risih, aku nggak nyaman aja jadinya. Aku bahkan dua pekan ini selalu beristighfar,"

"Dan kamu akan ngelanjutin istighfar itu dua pekan lagi, Ra." sambungnya sambil terkekeh pelan.

"Ya Alloh, Kak. Mau nyerah tapi udah di ujung tanduk."

"Nggak boleh pesimis jadi orang, harus optimis. Yakin kalo kamu bisa ngejalanin ini semua dengan baik-baik aja, Ra."

"Makasih, Kak atas do'anya and for you too."

"Thank's too, Armila."

Keduanya terkekeh kecil menertawakan bagaimana mereka berbicara bahasa inggris dengan kata semaunya mereka.

"Ustadz Faqih, dipanggil syeikh." cetusnya yang benar mengagetkan keduanya.

"Oh, iya, Pak. Permisi." kata Faqih dan menghilang dari pintu kantor.

Kini, Armila merasakan risih ditatap oleh guru olahraga tersebut yang baru saja ia ceritakan pada Faqih.

Dia bernama Ando Wicaksono, biasa dipanggil Ando putra dari kepala sekolah yang memimpin di sekolah menegah atas tetangganya sekolahnya. Katanya, ia masuk ke sekolah tetanggaan sekolahnya hanya karena senang saja. Alasannya aneh menjadikan ayahnya bingung mengapa anaknya lebih memilih mengajar di sekolah lain ketimbang di sekolah tempat ayahnya memimpin.

"Ketemu lagi Armila. Boleh nanti pulang saya antar?" tanyanya memecahkan keheningan diantara keduanya.

"Pak, maaf. Saya sering menolak ajakan bapak karena saya memang harus benar-benar menolak. Jadi, saya mohon jangan mencoba untuk mendekati saya." tegas Armila perlahan.

"Maaf, La kalo itu ternyata sangat mengganggu kamu. Tapi saya nggak keberatan selalu ditolak sama kamu. Saya bakal menghapus kata sering menolak itu dengan kata sering mau. Jadi saya punya hak, kan untuk dekat sama kamu."

"Tapi saya nggak bisa, Pak. Maaf, saya nggak mau ini terlalu jauh karena saya udah punya suami."

"Saya nggak peduli. Dan saya yakin kamu hanya berbohong karena kamu ingin menolak saya lagi, kan."

"Saya serius, Pak. Dan saya sama sekali nggak berbohong."

"Oke, kalo gitu. Tunggu saya dirumah. Saya mau meminang kamu."

"Hah?!" kagetnya dengan suara kecil.

Ando tersenyum miring lalu meninggalkan Armila yang sedang terkejut.

POSESIF MINE (Completed) [OPEN PO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang