VII - 03

265 53 0
                                    

A girl who see with eyes and talk with eyes either

A girl who see with eyes and talk with eyes either

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Sia, kamu tidak apa-apa?"

Lamunanku dibikin buyar oleh wanita satu ini. Tapi aku juga salah, aku melamun di jam pelajarannya, matematika. Dia guru matematika paling baik dari segala guru yang kukenal, dia perhatian dan dengan sabar mengajar anak-anak sekelasku. Dia mengajarku penuh pengertian, rela ditelepon malam-malam bila ada tugas yang kurang jelas.

Bu Dea, masih muda dan dia belum menikah meski ada dua pak guru muda yang mengincarnya di ruang guru.

"Aku tidak apa-apa." Kuputuskan untuk mengatakan itu karena tatapan sinis satu kelas yang kudapat begitu saja.

"Kamu yakin, Sia? Kalau sakit kamu bisa ke ruang keseha—"

"Aku. Baik-baik saja, bu." Kali ini kuulang dengan penekanan kata. Bu Dea kelihatan kebingungan lalu ia mendeham dan tersenyum, lantas mengangguk dan kembali ke depan kelas. Aku tidak sengaja mengundang cibiran dari cewek-cewek di kelasku.

Meskipun bel istirahat berbunyi, aku hanya berdiam di kelas.

Bagian favoritku adalah, ketika aku bisa dengan bebas melirik jendela dan melihat pemandangan di luar sekolah. Kebetulan kelasku di lantai tiga, jadi aku bisa melihat beberapa cowok yang sedang main basket di lapangan, atau cewek yang makan di pinggir lapangan saling berkumpul dan becanda ria.

Tentu saja bukan hanya itu, soal kemampuanku—seorang gadis indigo. Aku mampu melihat lelaki belanda dengan luka di pelipisnya duduk disisiku, dia sudah lama disini mengajakku ngobrol. Obrolannya kira-kira: bolehkah aku mengikutimu? Kau mau dengar penyesalanku tidak? Aku tidak bermaksud apa-apa, aku hanya kesepian, dan aku juga takut padamu.

Aku tidak mengerti alasan pastinya, tapi hampir seluruh hantu takut padaku. Mereka membungkam mulutnya saat aku lewat, tidak membiarkan pita suaranya terkikik tawa atau apalah—hal mistis yang membuatku merinding.

"Ara ... seandainya kau ikut aku ke sekolah, aku tidak akan begitu kesepian." Gumamku, tentu saja dengan kehati-hatian. Kalau temanku dengar aku makin dibilang gila nantinya.

Aku melirik seorang gadis di kelasku yang duduk di pojok, sendirian tapi dia tidak terlihat menyedihkan karena ia selalu berupaya untuk bersosialisasi. Tapi aku melihat hal lain, ada yang mengganggunya di belakangnya, menunggu waktu yang tepat untuk merasuki gadis itu. Namanya Sara, dia gadis yang dikucilkan karena dianggap sok asik.

Masalahnya mereka membenci orang ansos* sepertiku juga. Jadi maunya bagaimana? Aku dicap sombong, arogan, tidak berakhlak, sedangkan yang ramah kalian anggap sok-asik.

Omong-omong, tentang Sara. Entah aku akan menolongnya atau tidak, hantu yang satu itu sedikit keras kepala.

"Sara." Tapi akhirnya aku menolongnya.

Tale of The Ethereal [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang