chapter 22

57 25 0
                                    

Potions

"Aku tahu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Aku tahu."

Suaraku tercekat ketika respon Val berbeda dengan yang kukira. Apa yang aku harapkan? Aku mendecak dan menancap gas mobil yang kukendarai. Selama perjalanan kami tidak mengatakan apapun.

Kurasa aku tidak seharusnya marah. Tidak seharusnya kesal karena merasa Val sedikit berubah. Tapi aku tidak bisa berbohong kalau aku kesal dan merasa tidak terima, aku memikirkan berbagai kemungkinan kenapa Val bisa seperti itu.

Ciiitt!!

Aku membanting stir ketika aku tidak menyadari ada kucing melintas. Val yang berada di sampingku itu terkejut.

"Apa yang kau pikirkan?!" Pekiknya lumayan keras.

Aku mengatur deru napasku. Tidak ingin aku menjawab pertanyaan Val sedikit pun, tanganku membenarkan stir dan menancap gas. Val mungkin keki padaku, tapi aku tidak sedang dalam mut untung menanggapinya.

Begitu sampai di sekolah aku memarkirkan mobil dengan cepat dan membiarkan Val turun duluan. Aku mengatakan padanya akan menyusul, dia tidak menggandeng tanganku dan memaksaku untuk ikut, meski kalau dia melakukannya aku akan nurut begitu saja.

Aku menghela napas beratku. Banyak sekali yang harus kupikirkan, sampai aku tidak tahu harus mulai dari mana. Aku kembali mengingat tindakan Val yang mampu membuatku tenang, tak kusangka, hanya dengan mengingat-ingatnya aku dapat lebih tenang.

Dengan cepat aku menuruni mobil dan mengejar Val yang sudah jalan jauh di depanku. Aku meraih sebelah lengannya, hingga membuatnya menoleh padaku.

Aku menggenggam sebelah lengannya dengan dua tanganku. "Maafkan aku." dua kata itu keluar begitu saja dari mulutku.

"Untuk apa?"

"Entahlah. Seandainya aku berbuat salah, aku minta maaf. Tolong jangan menjauh dariku."

"Aku tidak menjauh."

Aku menarik napasku dalam-dalam, aku tidak bisa meledak disini begitu saja. "Kamu tidak merasakannya, aku lawan bicaramu yang merasakannya."

"Kamu tidak benar-benar menyukaiku kan?"

"Kenapa berpikir begitu?" Kini kami tidak saling membuang tatapan. Kami saling menatap lekat-lekat untuk memastikan apakah kami berbohong lewat sorot mata.

"Aku tidak boleh berpikir begitu? Itu hanya pemikiran belakaku tentang kau, tapi aku berhak berpikir begitu."

"Benar. Itu terserah padamu. Jadi, kamu hanya mengasihaniku yang gila ini? Yang punya keluarga berantakan?"

"Aku tidak bilang begitu!" Hentak Val, tak cukup membuatku tersentak dan mundur. "Masih ada bayang-bayang tentang cowok yang kamu suka dulu kan? Seven."

"Kenapa jadi ke dia?"

"Karena memang dia. Aku sudah kalah telak kan?"

"Apa?"

Tale of The Ethereal [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang