chapter 27

53 23 0
                                    

Last decicion

Last decicion

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Author pov

"Aku akan cepat-cepat melakukan tugasku, kita tidak perlu lama-lama disini." Tegas Red dengan posisi dua tangannya yang di masukan ke dua sakunya. Red sangat acuh, ia tidak mengindahkan Seven yang nampaknya tidak terima untuk buru-buru pergi dari dunia permanusiaan.

"Apa yang akan terjadi kalau kau berhasil?"

"Perasaanmu akan kembali ke awal, beberapa ingatanmu akan jadi sedikit aneh karena tidak diwarnai oleh emosi. Dan pastinya, dimensi infinit tidak dalam bahaya."

Seven tersenyum tipis namun penuh kepahitan, "Tapi aku sedikit merasa senang. Aku merasakan emosi-emosi ini."

"Tentu saja." Red merespon, tidak lama kemudian ia melanjutkan ucapannya, "Tapi itu bukan untuk kau, maupun aku."

"Kau juga tidak bisa merasakan emosi."

"Aku? Bisa, tapi samar."

"Jadi apa maksudmu barusan?"

Red menghela napasnya lembut, "Dimensi, entitas, tidak punya emosi karena kita punya kewajiban yang tetap dan besar. Manusia hanya hidup, sedih, senang, bersyukur, susah, marah, akhirnya adalah mati. Kita sudah jelas berbeda. Manusia begitu, mereka lemah."

"Tidak." Tampik Seven dengan tatapan yang kosong, "Mereka penuh kasih sayang yang hangat. Itu juga yang membedakan kita dengan mereka."

Red mengepalkan tangannya kuat-kuat sebelum akhirnya melonggarkanya. "Sudahlah~ kau lihat saja nanti apa yang akan terjadi."

"Benar juga. Aku tidak tahu soal rencanamu. Kau merencanakan aneh-aneh ya?"

Red mengedikkan bahunya, "Apa ya?"

Meski Seven sudah bisa menebak separuhnya, ia membungkam mulutnya. Red di kenal sebagai entitas takdir yang penuh kekejian dalam tiap pekerjaannya dalam takdir dunia, mana mungkin Seven tidak mengenal karakter Red yang bisa diingat siapapun di dunia ini?

Seven melangkahkan kakinya untuk keluar dari kantin, ia menelusuri koridor bersama dengan Red yang ada disisinya.

Seorang gadis dengan terbirit-birit berlari hingga akhirnya menabrak Seven dengan cukup kencang.

"Maaf!!" Pekik gadis itu seraya membenarkan helaian rambut yang terlempar ke depan.

Seven mengulur telunjuk dan jari manisnya untuk mendorong beberapa helai poni gadis itu yang panjang ke belakang telinga. "Sia, hati-hati." Ujarnya.

Sia sontak menundukkan kepalanya dan dengan gugup memundurkan tapakan kakinya ke belakang. "Maaf, maaf. Tadi buru-buru." Lantas gadis itu bergegas pergi.

Tale of The Ethereal [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang