chapter 15

69 35 2
                                    

A boy behind the fog

Sia menempatkan dirinya dipojok ruangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sia menempatkan dirinya dipojok ruangan. Ruangan yang lembab dan menakutkan sesekali membuatnya mual. Gadis itu kian merapatkan mantelnya yang cukup tebal, kakinya sedikit gemetar, ia kedinginan—hanya sekotak jendela berukuran 40x40 yang meneranginya di dalam ruangan yang dinginnya setengah mati.

The box, adalah hukuman terberat di sekolah. Seorang siswa akan dimasukan ke dalam ruangan berdinding besi dingin dengan jendela tak terbuka. Ruangan yang jarang dibersihkan dan menakutkan, cukup gelap dan di pojok ruangan banyak terdapat cermin.

Sia akan diam ditempat ini hingga beberapa hari, dia tidak masuk ke kelas yang sama dengan murid lainnya. Cermin di sudut ruangan ada belasan bahkan puluhan, disediakan untuk murid-murid yang masuk ke ruangan ini agar murid dapat introspeksi diri. Beberapa cermin ada yang pecah, namun tidak banyak, bercak-bercak hitam sesekali mengotori cermin. Sia menduga itu adalah darah yang sudah kering.

Gadis itu lantas bangkit dari posisinya dan mengambil serpihan kaca yang sudah pecah ke beberapa bagian. Ia melirik dirinya sendiri dan sudut bibirnya sedikit terangkat, "Aku menyukaimu, karena kamu adalah Lesia Canbera."

"Persetan dengan kata-katamu Seven."

Tok..tok..!

Sia menghentikan aksinya lantas menyembunyikan serpihan kaca dibelakang tubuhnya.

Seorang lelaki diluar pintu sungguh berharap Sia membukakan pintu untuknya. Karena rasa bersalah Sia beranjak untuk membukakan celah untuknya.

"Kenapa kamu kesini terus?"

"Ini makan siangmu." Val menyodorkan sebuah nampan lengkap berisi nasi serta lauk pauk. Namun bukan itu yang Sia harapkan.

"Itu kan punyamu."

Val terbelalak karena Sia mampu menerkanya cukup baik. Ia menggaruk pelan tengguknya canggung, "Ya. Tapi aku sudah bawa bekal dari ru—"

"Aku membencimu."

Dua kata yang dapat membuat Val membatu. Namun lelaki itu memaksakan senyumannya dan tetap meletakan nampannya di dekat Sia. "Ma-makan saja. Aku tidak bertanya apapun."

"Aku mengenal satu orang sepertimu. Dia sangat perhatian, dia si empunya senyum hangat, bahkan akupun jatuh hati padanya. Tapi dia adalah orang yang menyebalkan. Kamu juga, sama menyebalkannya. Jadi enyahlah."

Val mengepal tangannya dengan erat sebelum akhirnya melonggarkannya dan kembali tersenyum. Ia bangkit dan hendak berlalu pergi namun tertahan oleh hasratnya, karena ia sungguh ingin mengatakan sesuatu.

Tale of The Ethereal [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang