33. Akhirnya...

371 29 0
                                    

Dicky sudah sampai di Indonesia sejak dirinya selesai menimba ilmu di Yaman. Menarik nafas dalam-dalam, menikmati angin dan oksigen alami Indonesia. Ia sangat rindu dengan semua, dari rumah, teman, dan Hasna. Dicky sudah yakin bahwa dirinya siap dan kuat jika nanti melihat betapa bahagianya Hasna dan Imam bersama.

Sesampainya di rumah, ia di kagetkan dengan penyambutan dirinya oleh sahabat-sahabatnya. Dengan senyum yang mengembang ia berjalan dan menghampiri sahabatnya yang memandangnya dengan pandangan yang sulit diartikan.

"Assalamualaikum, apa kabar bro?" Sapa Dicky akrab, namun hanya di balas jawaban salam kemudian tatapan mata yang dingin.

Di dalam mobilnya, Dicky terus saja memikirkan pembicaraan Marchel. Ia sungguh menyesal telah meninggalkan Hasna dan tak ada di sampingnya selama ini untuk menguatkan mental Hasna yang terpuruk. Dirinya memang bodoh, terlalu mengedepankan egonya dan keras kepala yang tak ada gunanya juga. Seharusnya dulu, bagaimana pun juga dia tak seperti ini, tak meninggalkan cinta pertamanya.

Walaupun ia ke Yaman untuk belajar, kenapa gak di Indonesia saja ia melanjutkan studinya. Bukankah di Indonesia banyak pesantren dan pelajaran yang di berikan pun tak kalah epic. Tapi nasi sudah menjadi bubur, percuma saja jika Dicky meratapi ini semua. Karena semuanya tidak akan kembali normal, sekarang tujuannya adalah pergi ke makam mendiang mamanya Hasna, kemudian ke makam Imam dan terakhir ke rumah Hasna.

Di TPU yang dimana mamanya Hasna di makamkan, Dicky berjongkok seraya membaca doa dan surah Yasin. "Maaf ya Tante mama, Dicky tau Dicky salah karena kabur gitu aja. Dan Dicky janji, setelah ini Dicky akan menjaga Hasna apapun kondisinya. Dicky pamit ya Tante mama, wassalamualaikum."

Setelah mengunjungi makam mendiang mamanya Hasna, Dicky langsung pergi ke TPU tempat Imam dimakamkan. Sama halnya ketika Dicky membaca doa dan surah Yasin, Dicky tersenyum nanar menatap batu nisan yang di pegangnya.

"Assalamualaikum Gus, semoga antum tenang dan masuk surganya Allah ya, aamiin. Ana minta maaf kepada antum karena ana gak dateng pas acara pernikahan antum sama Chucky berlangsung. Dan ana janji akan menjaga Chucky dengan baik, seperti yang antum amanahkan sebelum antum meninggal. Ana pamit, wassalamualaikum." Pamit salam Dicky meninggalkan pusara Imam.

Kini, mobil Dicky berjalan ke arah rumah Hasna. Semoga saja  Hasna tak seperti yang ia bayangkan dan sahabatnya bicarakan. Dicky sangat tau kalau Hasna gadis yang kuat, jadi tak mungkin dia sampai serapuh itu. Mobil Dicky sudah masuk ke dalam perkarangan rumah Hasna, dilihatnya tampak banyak perubahan yang terjadi.

"Assalamualaikum?" Sapa salam Dicky, seraya mengetuk pintu.

Tangan Dicky tergerak mencium punggung tangan papa Hasna. "Wa'alaikum salam, eh nak Dicky udah pulang. Silakan masuk, duduk dulu, papa ambil air teh dulu."

Langkah papa Hasna terhenti, kemudian balik badan mengangguk, lalu duduk di sofa. "Gak usah pa, makasih." Dicky langsung bersimpuh di bawah papa Hasna. "Maafin Dicky pa, Dicky salah udah ninggalin Hasna yang sedang terpuruk dalam sedihnya. Dicky..."

Papa mengusap kepala Dicky lembut, kemudian menyuruhnya untuk bangun. "Papa maafin kok, lagipula ini bukan salahmu nak Dicky. Papa yakin, ini adalah jalan takdir Hasna, dan tinggal kamulah salah satu orang yang papa yakin bisa mengembalikan Hasna yang ceria dan menyebalkan itu kembali." Yakin papa.

Dicky tersenyum manis, mengangguk mengiyakan. "Iya pa, in syaa Allah Dicky akan melakukannya."

Di depan pintu kamar Hasna yang setengah terbuka, Dicky bisa melihat dengan jelas seorang gadis yang duduk di kursi roda menatap kosong ke arah luar jendela. Perasaannya kali ini sangat sakit melebihi perasaan yang ia rasakan ketika ia tahu bahwa Hasna akan menikah.

Chucky Hijrah (End) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang