Bulan dan bintang dengan tenang duduk di langit. Seakan menjadi penonton deritanya. Keringat tak urung menguasai seluruh permukaan tubuh di tengah dinginnya malam. Entah suara mana yang paling nyaring, deru angin yang ia belahi, napas terengah-engahnya sendiri, atau sepatu yang berbenturan dengan jalanan. Semuanya terasa menyatu dan berdengung tanpa henti di telinganya. Degup jantungnya terdengar begitu nyaring, saking nyaringnya sampai membuat daerah sekitar perutnya terasa sakit pula. Tak jarang ia menyenggol tong sampah umum. Beberapa mungkin terjatuh, namun apa ada waktu untuk mengurusnya? Tidak.
Teriakan serta umpatan nyaring seakan berada persis di belakangnya. Sudah cukup untuk membuat kakinya bergerak tanpa diperintah. Berlari menjauh, justru terasa bak menjauhi harapan, harapan bahwa ia akan bebas dari kejar-kejaran yang dimulai secara culas ini. Yang ada hanya rasa untuk menyerah dan pasrah. Tubuhnya semakin lelah, terlebih kaki. Katanya, berlari adalah solusi terbaik untuk menghilangkan stress. Namun, itu tak berlaku baginya. Entah karena ia berlari di bawah tekanan, berlari terlalu keras, atau karena ia tak berlari, tapi dikejar. Setiap langkahnya teriringi bayangan, bayangannya juga bayangan tiga orang lain di belakang yang terlihat melintang panjang.
Ia tak tahu berapa meter sudah bergerak dari titik awalnya berdiri, berapa kali ia harus mencari belokan, dan di mana ia saat ini berada. Ini bukan lagi daerah apartemen yang tadi dia jadikan pin kepergian, ia sudah masuk ke pemukiman yang berbeda. Semua rumah terasa sama, lampu jalan tak bisa memberi mark apa ia sudah lewat atau belum di sini, jalanan terasa bak labirin tak berujung dengan puluhan kelokan. Bingung harus kemana, atau bagaimana saat ini.
Ia tak bisa mengharapkan pertolongan. Jika bisa, dari siapa? Jalanan ini 100% sepi, meski penuh dengan perumahan warga. Seandainya ramai pun, siapa yang mau turun tangan menyelamatkannya? Siapa yang mau berurusan dengan orang-orang menyeramkan di belakangnya? Bagi semua orang, jauh lebih mudah menilai dengan mata. Penampilan orang-orang di belakangnya terlihat seperti polisi atau aparat yang punya kemampuan berkelahi tinggi. Sedangkan ia lebih terlihat seperti anak berandal dengan penampilan urak-urakannya. Yang melihat, pasti mengira ini adalah penangkapan terhadap seorang penjahat. Dan penjahatnya adalah Hyunjin sendiri.
Dunia juga seakan tak menyokong dirinya. Membiarkannya memasuki jalanan yang sempit, tanpa tau arah. Tanpa cahaya yang bisa menterang berangi jalannya. Tanpa pijakan mulus agar tak perlu tersandung atau terjatuh. Tanpa celah, atau sesuatu yang bisa dijadikan penghalang atau persembunyian. Hanya ketidakadilan, ketidakpastian, dan... Kepedihan.
Hyunjin tak masalah diancam, dikejar, digebuki, atau bahkan... Ditergetkan untuk dibunuh. Asal itu dari orang asing, atau yang tak punya bobot di hidupnya. Tapi, rasanya sudah beda apabila yang menginginkan hal itu terjadi adalah orang yang punya hubungan terhadap kalian. Hubungan nyata. Orang yang pernah kalian sayangi lebih dari diri kalian sendiri.
Kalian tau? Untuk kesekian kalinya, Hyunjin mempertanyakan sebenarnya apa tujuan ia dihadirkan di dunia ini. Toh, tak pernah ada yang mengharapkan eksistensinya. Bahkan ada yang merencanakan hal buruk terhadapnya. Sebut saja, tiga orang di belakangnya yang tak begitu ia kenali. Sebatas pernah lihat saja. Ah, menyebut mereka juga salah. Yang jadi otaknya, pasti ayahnya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
My CEO • Kang Taehyun
Fanfic[COMPLETED] (A Fantastic Cover By : @alcoholnight) Di usia 17-nya, Han Yora harus melepaskan segala cita-cita dan kegembiraan masa mudanya di kala takdir memaksanya tunduk. Pasrah adalah satu-satunya hal yang bisa Yora lakukan sewaktu ayahnya menin...