20. Happiness

1.9K 246 127
                                    

"Hoam... " Untuk kesekian kalinya gadis itu menguap lantas mengucek kedua matanya yang terasa berair. Sambil memangku dagunya, ia sibuk melamati layar handphone. Sebenarnya sama sekali tak ada yang ia lakukan dengan benda pipih itu. Ia hanya menggeser layar berandanya berulang-ulang tanpa niat melakukan apapun.

Handphone adalah sebuah kecerdasan buatan yang berfungsi sebagai perangkat komunikasi. Namun di tangannya, handphone tak berguna semestinya. Alih-alih berkomunikasi, Yeji hanya menggunakannya sebagai pajangan. Lagipula, siapa yang bisa dihubunginya? Teman? Oh, ia punya, namun temannya tak bisa menggunakan barang elektronik. Tentu saja, temannya hanya kucing dalam bingkai yang tak bisa diajak mengobrol.

Seharusnya ia bisa saja memanfaatkan internet dengan menonton film, ataupun mencari berita ter-update, sayangnya sinyal di sini tak bisa diajak bicara baik-baik. Maklum saja, tempat domisilinya memang terpencil.

Gadis itu mematikan layar ponselnya, lama-kelamaan matanya terasa perih oleh radiasi sinar HP. Ia menilik lama layar hitamnya yang sudah retak-retak– dikarenakan ayahnya yang membanting HP-nya saat marah.
Ia sudah menggunakan benda pipih ini sejak zaman perkuliahan hingga sekarang. Wajar saja sering terjadi error dan lemot.

Seiring bertambahnya zaman, teknologi pun semakin berkembang. Orang yang HP-nya rusak, pastinya akan memilih membeli yang jauh lebih modern dan meninggalkan yang lebih lama. Tapi, Yeji tak demikian. Ia tetap bertahan dengan HP jadulnya. Kenapa? Ada dua alasan utama. Satu, keterbatasan finansial. Dua, karena banyak foto, video, dan memori-memori penting yang terpotret di HP ini– mungkin alasan kedua jauh lebih mendominasi. Yeji tak ingin menggantinya, apalagi mengingat betapa besar usaha ayahnya untuk membelikannya benda ini. Ia ingat sang ayah harus lembur 4 malam untuk membelikan dirinya dan sang kakak benda kecil ini hanya karena tak ingin anak-anaknya diejek teman-temannya yang berkecukupan materi.

Kenangan itulah yang membuat Yeji tak bisa membenci ayahnya dan masih menggantungkan harapan padanya.

Tring~~~

"Yeji-ya~~~ Bogo shippeo"

Yeji menegakkan tubuhnya, matanya menatap berbinar ke arah pintu. Ternyata sang kakak tengah datang berkunjung.

Yeji mengulas senyum cantik. "Nado bogo—" Yeji membiarkan kalimatnya mengambang di udara saat melihat siapa yang dibawa Hyunjin– Bang Chan. Ia menghempaskan bahu kecewa sekaligus melunturkan senyumnya, ia sempat menduga yang mengatakan rindu padanya dengan nada manja adalah Hyunjin, namun sepertinya yang mengatakannya adalah Bang Chan.

"Kenapa oppa membawanya?" Serang Yeji jengkel.

Begini, ia punya alasan kenapa tak suka dengan kehadiran Bang Chan. Ia kerap mengatai ukuran mata Yeji yang setebal torehan pena, padahal miliknya juga tak seberapa lebar.

Dasar kurang ngaca.

Tak hanya itu, Bang Chan acap kali menarik-narik rambut Yeji dengan alasan gemas. Kenapa ia tak menarik rambut Hyunjin saja? Padahal Yeji sudah bersusah payah membujuk kakaknya untuk memanjangkan rambut agar Bang Chan bisa memburu rambutnya dan melepaskan rambut Yeji. Namun ternyata rencana perlindungan Yeji tak efektif. Atau kenapa Bang Chan tak memanjangkan rambutnya sendiri saja dan menariknya? Setidaknya ia tau rasanya seperti apa. Yeji mulai merasakan semakin hari rambutnya semakin menipis.

Ada lagi, Bang Chan sering kali bercakap dan memperlakukan Yeji selayaknya balita, itu membuat Yeji mual.

Satu lagi tambahan, kalau Bang Chan datang maka beberapa menit kemudian dapur dan segala sesuatu yang dapat dimakan di rumah Yeji akan menghilang dalam sekejap mata. Apalagi sekarang ada kakaknya juga yang akan ikut membantu Bang Chan mengosongkan makanan di sini. Ugh... Kepala Yeji sudah berdenyut saat memikirkannya, apalagi menghadapinya.

My CEO • Kang Taehyun Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang