Identitas

30 6 0
                                    

"Oi, kok malah pingsan, sih? Bangun, euy. Bangun," ujar Hitomi seraya mengguncangkan tubuh Min Hee.

Lelaki berhoodie hitam di dekatnya pun menoleh. Terkikik melihat Min Hee yang pinsan.

"Biar gue yang bawa Min Hee," ujar lelaki berhoodie hitam. Dia tak lain ialah Allen. Lalu si baju biru? Siapa lagi kalau bukan ketua kelas super misterius, Serim.

"Ma ... makasih," ujar Hitomi yang masih gemetaran.

"Sama-sama," balas Allen dengan senyum terbaiknya. Langsung pergi tanpa mengucap suatu apa.

"Untung Taeyoung cepet ngabarin kita. Kalau nggak, anak buahku berkurang dua,"

"Maksudnya?" tanya Hitomi tak mengerti.

"Lo balik badan, deh. Liat di situ ada apa,"

Dengan jantung yang berdetak lebih kencang, Hitomi memberanikan diri untuk menoleh.

Deg.

Matanya menangkap sesuatu yang sangat mengerikan. Beberapa meter lagi dari tempatnya bersimpuh saat ini, lantainya habis. Mereka bisa terjun bebas. Dan lagi, suasana yang tadinya pagi hari, tiba-tiba berubah gelap. Sungguh tidak masuk akal.

"Nggak, nggak. Tadi masih pagi, Rim,"

"Namanya aja tipuan. Ya gitu deh. Gak bakal bisa dilogika,"

Saat mau mendebat lagi, Hitomi salfok ke ujung bibir si ketua kelas.

"Rim, itu apaan?" tanyanya heran seraya menunjuk muka Serim

"Lo jangan nakut-nakutin gue. Ada apanya, ih?" balasnya panik

"Coba deh lo pegang ujung bibir lo yang sebelah kanan. Darah? Eh, masa si?"

Dengan ragu, si baju biru mengusapnya. Ada cairan kental, lengket yang menempel di tangannya.

"Kirain apa," kata Serim emosi

"Apaan memang?"

"Kecap, bambank" ujarnya dengan nada yang sedikit naik.

"Aish. Makan belepotan gitu. Digigit semut tau rasa," balas Hitomi seraya bangkit.

Sementara itu, si baju biru sibuk mengelap bibirnya yang masih belepotan kecap. Maklum, kabarnya mendadak. Sampai-sampai dia meninggalkan makanannya begitu saja.

"Udah yuk, buruan balik. Apek," pinta Serim seraya menggandeng tangan Hitomi.

Tanpa ada pilihan lain, gadis berbaju putih itu mengikuti langkah kaki Serim. Menuruni anak tangga yang tidak diingat olehnya. Perasaan tadi jalannya lurus-lurus aja. Nggak ada tangga segala macem.

"Rim, sejak kapan ada anak tangganya?" tanya Hitomi dengan polosnya

"Ya dari dulu, lah. Masa gue yang bikin,"

"Tapi tadi, ... "

"Udah cukup. Nanti lo tanya aja sama Allen. Dia yang lebih paham soal ginian," ujar Serim seraya menghentikan langkahnya. Sorot matanya menyiratkan bahwa ia tak mau dibantah.

Karena itu Hitomi tidak berani bertanya apa pun lagi sampai dirinya melihat muka Allen di ruang tunggu.

Cepat-cepat ia berlari, melepaskan genggaman tangan Serim.

{Cie ditinggal 😂}

"Llen, Min Hee gimana?" tanyanya khawatir

"Ga usah khawatir. Bentar lagi dia bangun, kok. Kata dokter sih gitu,"

"Ih, ga lucu tau," marah Hitomi sambil mencubit lengan Allen.

"Lah, faktanya gitu," ujar Allen seraya menangkap tangan kanan Hitomi yang sempat mampir memberi cubitan.

"Kaya php tau ga?" katanya kesal seraya duduk di samping si lelaki berambut coklat.

"Ehem," dehem Serim

Mau tak mau, Allen melepaskan cekalan tangannya. Yakin bahwa deheman Serim adalah sebuah peringatan.

"Llen, Hitomi kepo tuh. Buruan cerita," desak Serim seraya duduk di samping Hitomi.

"Mager,"

"Cerita ga? Kalo sampe lo nggak cerita, gue timpuk nih," ancam Hitomi seraya melepaskan alas kakinya. High heelsnya nggak begitu runcing sih, tapi lumayan buat nimpuk orang.

"Bentar, tadi lo bilang apa, Mi?" tanya Serim. Menghancurkan acara kemarahannya Honda Hitomi.

"Minta Allen cerita,"

"Bukan. Lo makai lo gue. Tumben banget," komentarnya.

"Salah?" tanyanya dengan mata melotot.

"Kaga. Nanya doang marah. Moga bini gue ga galak kaya lo," gerutunya. Lagian tau Hitomi lagi naik darah, eh malah ditanyain. Yang salah siapa coba? Hhh.

***

Nantikan cerita Allen Ma mengenai sang suster di chapter berikutnya. Babay.

[Hiatus] Emerald WhisperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang