Hangatnya mentari pagi menyentuh kulit Sia melalui jendela kamar yang dibuka oleh salah satu pelayan di sana.
Matanya hanya mengerjap tetapi enggan membuka. Gadis itu kembali bergelung dengan selimutnya. Menenggelamkan kepalanya ke dalam selimut, berusaha menghalau sinar matahari yang menyilaukan.
"Anda harus segera bangun, Nona."
Spontan Sia membuka selimutnya lalu menatap langit-langit kamarnya dengan mata membola. Suara itu tak asing lagi di telinganya. Dan apa tadi? Nona? Sudah dipastikan jika orang yang menyapanya ini adalah...
"Bagas?" ujarnya seraya terduduk dengan muka bantalnya.
Bagas sedikit menunduk, memberi hormat kepada sang majikan yang sudah lama tak berjumpa.
"Lo ngapain di sini? Harusnya lo sama papa, 'kan?" tanya Sia dirundung bingung.
"Tuan Rendra sendiri yang memerintahkan saya untuk menjemput anda sekaligus menjaga anda," jawabnya.
Sia mengernyit, di mana para pelayan yang lain? Kenapa harus Bagas yang masuk ke kamarnya? Tidak sopan!
"Mana pelayan yang lain?" tanya Sia ketus.
Entahlah, berbicara dengan Bagas selalu menyulut emosinya, sama seperti manusia si murah senyum itu.
"Mereka sudah saya perintahkan untuk keluar dari kamar anda, Nona."
Mata Sia membulat sempurna, menatap tajam ke arah Bagas. Namun, lengannya tak tinggal diam. Diam-diam tangannya meraba ke belakang, mencari bantal untuk ia lemparkan ke arah Bagas. Di sekitarnya tak ada sepatu maka bantal pun jadi.
"Brengsek!" teriaknya seraya melempar bantal itu ke arah Bagas.
Spontan Bagas menghindar. Namun, ekspresi datarnya selalu terpatri.
"Lo modus atau apa? Hah?!" teriaknya, "Kenapa mereka lo suruh keluar?!"
Untuk yang kesekian kalinya Bagas kembali menunduk hormat lalu berkata, "Banyak sekali mata-mata yang menyamar, Nona. Saya hanya mengantisipasinya."
Sia diam, enggan menjawab. Pergi berlalu begitu saja, meninggalkan Bagas yang hanya bisa menggelengkan kepalanya.
Saat berada di anak tangga, Sia mendapati Raga yang masih setia dengan mata terpejam dan wajah tenangnya. Perlahan tungkainya melangkah mendekati Raga. Berniat membangunkan namun ia urungkan.
Melihat wajah tenang nan damai milik Raga membuat hatinya diserbu rasa hangat. Rasanya sayang ingin melenyapkan wajah tenang Raga dan tergantikan dengan wajah dingin andalan Raga.
"Ganteng-ganteng kebo juga ternyata," ujarnya berkacak pinggang lalu menggeleng.
Setelah puas memandangi wajah Raga, Sia berniat membangunkan Raga. Tangannya terulur ingin mengguncang kecil bahu Raga. Namun, yang ia rasakan suhu tubuh Raga yang meningkat.
KAMU SEDANG MEMBACA
GLANCE
General Fiction[SEBAGIAN CHAPTER DIPRIVATE, FOLLOW SEBELUM MEMBACA.] Nastasia D. Aldebarack, seorang gadis biasa yang akan merasakan sakit bila dilukai. Mencintai seseorang yang bahkan mencintai sahabatnya sendiri. Mencoba menutupi kegundahan hatinya melalui sifa...