Mazaya mengurung dirinya di kamar padahal hari sudah malam dan dia belum juga makan sedari pertengkaran di rumah sakit tadi bahkan orang tua Mazaya sudah mengetok-ngetok pintunya, tapi tidak membuahkan hasil. Mazaya tetap kekeh dengan sikap egoisnya.
Mazaya menangis sejadi-jadinya, entah kesalahan apa yang ia lakukan di kehidupan sebelumnya hingga penderitaan yang ia rasakan tak kunjung menghilang, jangankan untuk menghilang, memudar saja tidak.
"Pak Rehan hiks hiks," gumam Mazaya.
Mazaya merindukan sosok lelaki bernama Rehan Adinata yang selalu berada di hatinya dan tak tergantikan sampai kapan pun.
"Kapan Aya bisa bahagia Pak, KAPAN! Aya benci diri Aya yang egois seperti ini, kenapa Aya sulit sekali berdamai dengan kenyataan. Saat Aya sudah mulai membuka hati, kenapa kenangan menyulitkan Aya untuk melangkah lebih! Aya benciii hiks hiks."
Mazaya tak kuasa menahan air matanya, ia menangisi kejadian hari ini. Ia sangat yakin, Rana pasti tersakiti dengan perkataannya yang terkesan pengusiran. Dan Mazaya juga bisa melihat tatapan mata Rana penuh dengan kekecewaan.
"Maafin aku Rana, maafiinnn."
Dan apa yang Mazaya hindari akhirnya sudah terjadi hari ini.
"Hatiku tak ingin menyakitimu, tapi otakku lah yang justru menyakitimu."
"Maafin aku Rana, apa yang aku takuti kini sudah terjadi," lirih Mazaya di tengah tangisannya.
Mazaya memang sudah mulai membuka hatinya untuk Rana karena saat bersamanya Mazaya bisa merasakan perasaan yang berbeda, tenang dan nyaman itulah yang Mazaya rasakan. Dan untuk cinta? Apakah tidak apa-apa jika Mazaya terlambat menyadarinya?
Ya, kini Mazaya mulai mencintai Rana walau sedikit karena cintanya untuk Pak Rehan lebih banyak, tapi masa depan siapa yang tahu?
Tapi saat ini Mazaya benar-benar merasa wanita bodoh, menyuruh pria yang ia cintai pergi dari kehidupannya. Dan sekarang bolehkan Mazaya menyesal?
Mazaya benar-benar menyesal sudah melakukan kesalahan yang sebenarnya tidak ingin ia lakukan, tapi 'nasi sudah menjadi bubur' apa boleh buat jika sudah terlanjur seperti ini.
"Aku bodoh, aku bodoh!" Pekik Mazaya.
Prakkk
Kaca berhamburan di lantai. Mazaya membanting foto Pak Rehan dengannya yang berada di atas nakas.
Mazaya langsung berlutut frustasi bahkan kaki dan lututnya sudah berdarah terkena kepingan kaca yang pecah. Sakit? Tidak, ia tidak merasakan rasa sakit ditubuhnya karena itu, melainkan hatinya lah yang justru sangat sakit saat ini.
"Kenapa gak sekalian bawa Aya, Pak. Kalau ujung-ujungnya Aya harus menjalani kehidupan seperti ini?"
"Kenapa kenangan menyulitkan aku untuk melanjutkan hidup."
"Kenapa kenangan selalu menghantuiku."
"Kenapa kenangan manis tidak bersikap manis, kenapa justru kenangan menghancurkan kebahagian yang datang."
Mazaya memeluk erat fotonya dengan Alien nya itu. Sangat erat.
Siapa yang bisa melupakan kenangan tentang orang yang pernah hadir di hidup kita saat diri sendiri sudah menyerah, siapa yang bisa melupakan kenangan tentang orang yang pernah mencintai kita sangat tulus, siapa yang bisa melupakan kenangan tentang orang yang paling kita cintai. Tidak mudah melupakan kenangan bukan? Apa lagi kenangan manis.
Andai Mazaya bisa menjalani hidupnya dengan kenangan yang berada di sisinya, tapi itu akan sangat sulit bukan. Ya, buktinya sekarang Mazaya sudah frustasi dan menggila.
"Kenapa Bapak lupa ajari Aya cara melupakan kenangan sebelum Bapak pergi?"
"Apa Bapak yakin Aya bisa menjalani hidup, tapi kenangan tentang Bapak masih teriang-iang? Buktinya saat ini Aya gagal Pak, gak bisa."
Mazaya berdiri dan berjalan ke arah jendela, tanpa sadar kakinya menginjak kepingan kaca yang berhamburan di lantai. Sekali lagi, ia tak merasakan sakit.
Mazaya menatap luar jendela dengan tatapan yang sungguh sulit diartikan. Jika orang lain melihat keadaannya akan mengira jika Mazaya sudah gila. Mata merah dan membengkak, air mata yang terus mengalir tanpa berniat sedikit pun untuk berhenti sejenak, rambut yang sudah acak-acakkan, make-up yang memang sudah luntur bahkan pinggiran matanya hitam akibat eyeliner yang luntur dan jangan lupakan baju yang sudah kusut. Oh satu lagi, kaki yang sudah terluka dan darah mengalir sedikit demi sedikit. Sangat memperihatinkan kondisinya sekarang.
Mazaya melamuni sesuatu yang membuat ia kembali menangis.
"Maafin aku," ucap Mazaya pelan sangat pelan bahkan seperti berbisik.
Mazaya kembali berbaring di ranjangnya, saat ini ia butuh tidur karena ingin melupakan sejenak kenyataan yang ia hadapi hari ini.
Mazaya membuka laci lalu meminum obat tidur. Ya, meminum obat tidur adalah cara tercepat agar ia tidur.
Setelah itu Mazaya benar-benar tertidur, ia tak memperdulikan kondisi kakinya yang terluka karena ia benar-benar tak merasakan sakit apa pun.
*****
Di rumah RanaRana sedang berkutat dengan laptopnya menyibukkan dirinya agar tak berpikiran yang aneh-aneh dan melupakan sejenak kejadian hari ini.
Rana bahkan belum makan sama sekali. Ia bersandar di kursinya berhenti sejenak mengetik. Ia memangku kepalanya karena pusing menyerang. Ia kembali memikirkan kejadian hari ini yang membuat ia tersakiti, tapi lebih tersakiti saat mengingat bagaimana rasa takut Mazaya di rumah sakit tadi.
"Maafkan aku Mazaya," gumam Rana.
"Apa yang sebenarnya kamu sembunyikan atau memang aku lah yang tidak peka?"
"Aku tak ingin menjauhimu karena itu akan menyakitiku, tapi lebih menyakitkan lagi saat kamu lah yang justru menyuruhku pergi dari hidupmu. Maafkan aku sudah lancang singgah di kehidupanmu walau niatku ingin menetap dan bukan singgah sesaat."
"Tapi...apa pun yang kamu inginkan aku akan turuti termasuk pergi menjauh dari hidupmu, aku tak apa karena melihatmu bahagia itu juga kebahagiaanku."
"Maafkan aku sudah terlanjur mencintaimu dan melepaskanmu sangat sulit sekarang. Aku butuh waktu, tapi aku pasti bisa merelakanmu."
"Terima kasih atas kesempatan penerimaan yang sebentar ini."
Rana tersenyum tipis saat mengingat malam di mana dirinya mengungkapkan perasaanya pada Mazaya. Dan Mazaya tak menolaknya langsung. Sekarang? Ahhh memikirkannya membuat Rana semakin pusing.
Drettt...
Ponsel Rana bergetar, ada panggilan masuk. Rana langsung mengangkat telfon tersebut.
Raut wajah Rana langsung terkejut dan panik saat mendengar penuturan seseorang di balik telfon.
Panggilan berakhir, lalu ia bergegas menyambar kunci mobilnya dan meninggalkan ruang kerjanya bahkan laptopnya masih menyala. Ah, dia tidak peduli dengan itu.
Setelah masuk ke dalam mobilnya, ia melajukan mobilnya dengan kecepatan yang tinggi seperti dikejar para mafia. Pikiran kacau balau.
Tak lama ia sudah sampai di rumah megah. Memarkirkan mobilnya lalu berjalan masuk ke dalam rumah itu terburu-buru. Ia bahkan melupakan untuk mengucapkan salam terlebih dahulu.
Saat Rana melihat sosok yang menelponnya tadi, Rana segera mendekati sosok tersebut lalu terjadilah perbincangan sebentar dengan keduanya yang sama-sama panik.
Akhirnya Rana berada di tempat yang semestinya, wajahnya langsung berubah menjadi sedikit lega, tapi tetap kekhawatiran membumbui perasaannya.
*****
Gantung check🤣
KAMU SEDANG MEMBACA
Dokter Penyembuh Hati (SELESAI)
Romance[Romance~Comedy] Baca terlebih dahulu "Kenapa Pergi?" biar nyambung😁 Jangan lupa follow dan vote serta komen karena Mak suka baca komen dan balas🥰 ------------------------------------ Rana Putra seorang Dokter Spesialis Penyakit Dalam. Dokter muda...