13. NIKAH?

2.6K 361 14
                                        

Butuh waktu semalaman penuh bagi Lintang untuk mempertimbangkan keputusan. Sejak tawaran kemarin malam, yang dilontarkan Garis, pikiran Lintang mulai semakin berkecamuk. Semalaman penuh ia tak tidur, bahkan hari ini pun ia tak sekolah.

Lintang harus apa dan bagaimana?

Gadis itu pun tak tahu, terlalu banyak luka yang membabi buta meruntuhkan segala benteng pertahanannya, terkadang Lintang sering berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Namun, rasanya itu percuma.

Yang kini bahan jadi pertanyaan dalam diri setiap detiknya adalah, kenapa Garis tiba-tiba mau bertanggung jawab?

Padahal jelas-jelas, keduanya baru kenal bahkan belum cukup 1 Minggu. Kenapa, seolah kedatangan Garis terencana?

“Ck,” Lintang berdecak kesal. Sedari tadi ia masih berbaring di atas kasur sebari bergelut dengan selimutnya.

“Aku harus gimana?” tanyanya sendiri. Ia terus menggerutu kesal. Otaknya terlalu berpikir lambat jika situasi dan kondisi mencekam seperti ini.

Lintang jelas, tidak mungkin membiarkan kandungannya diketahui oleh siapapun. Terkecuali, jika ada cowok yang mau bertanggung jawab.

“Ayo Lin, ambil keputusan!” Lintang memejamkan mata dengan ujung kuku yang mengetuk pelipis.

Frustrasi, mungkin itu yang Lintang rasakan saat ini. Terlalu banyak pikiran yang bersarang di otaknya.
Lintang menghela napas, ia bangkit bangun hingga kini terduduk. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 13.00, berarti waktunya pulang sekolah.

“Dari semalam sampai jam satu siang, aku belum juga ngambil keputusan,” gumamnya sendu.

Lintang merenung, membiarkan melodi detak jarum jam mengisi renungan nya. Hingga tak lama, suara sepatu pantofel yang bergesekan dengan lantai, terdengar begitu jelas. Ditambah, suara ketukan pintu yang berasal yang dari luar kamar Lintang membuat renungan nya terhenti.

Tok! Tok! Tok!

“Lintang! Ini papah, buka pintunya sayang!” panggil Ardi cukup keras.

Lintang buru-buru bangkit bangun dari posisinya. Perlahan, tangan mungilnya membuka kenop pintu. Membukanya lebar, dan langsung mendapati Ardi di hadapannya.

“Hai, Pah,” sapa Lintang kikuk.

Ardi menaikkan kedua alisnya.
Mengamati penampilan Lintang yang terkesan aneh. Bukan aneh, lebih tepatnya acak-acakan.

“Kamu belum mandi?” tanya Ardi membuat Lintang menggeleng lemah.

“Kenapa Lin? Tumben anak gadis papah belum mandi?”

Deg! Jantung Lintang berdentum, seolah menabrak benda tumpul cukup keras. Entah mengapa, saat Ardi mengatakan kata ‘gadis’ hati Lintang kian teriris. Apa masih pantas ia dipanggil seorang, gadis?

“Lintang!” Ardi menepuk pundak anaknya, membuat gadis itu terkesiap kaget.

“Pah, Lintang mau mandi,” katanya tiba-tiba.

“Papah mau bicara dulu sama kamu, Lin,” ujar Ardi membuat Lintang kini menatapnya datar.

“Bicara apa, Pah?”

Ardi berdeham, “Soal mamah kamu, dia kemarin berangkat ke Amerika, dan katanya akan menetap disana,” tuturnya tenang.

Lintang menohok, ia tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

“Mamah pergi gak pamit sama aku?”
Gadis itu bersuara parau, matanya mulai memanas, terlihat bulir bening sudah membendung di kelopak matanya.

Garis Lintang [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang