Hampir 5 menit berlalu, Bara nampak berjalan mondar-mandir di depan ruangan, dimana Lintang kini tengah diperiksa. Dengan kedua tangan yang ditenggelamkan ke dalam saku celana, Bara sesekali memejamkan mata dan mengerjap, cowok itu melakukannya secara berulang-ulang.
Hingga akhirnya, langkahnya mondar-mandirnya terhenti. Saat mendengar suara decitan pintu terbuka dari dalam ruangan Lintang. Buru-buru, Bara menghampiri seorang suster yang baru saja keluar.
“Suster, gimana keadaan Lintang?” Bara bertanya dengan cepat, matanya terus saja menyisir ruangan di dalam.
“Anda bisa masuk, biar dokter yang jelaskan,” ucap suster tersebut, sebari mempersilahkan Bara masuk.
Tak mau menyita banyak waktu, Bara langsung masuk dengan langkah lebar, hal yang pertama di dapati adalah Lintang tengah berbaring di atas ranjang dengan mata yang terbuka lebar. Nampaknya, Lintang tengah mengobrol dengan sang dokter.
“Permisi, dokter.” Bara bersuara, membuat sang dokter yang berjenis kelamin perempuan itu menoleh.
“Eh, iya?” Sang dokter mempersilahkan Bara untuk mendekat pada Lintang.
Perlahan, Bara berjalan mendekat pada Lintang, pria dengan gugup duduk di pinggir bibir kasur. Tak hanya Bara, Lintang pun nampak gugup.
Atensi Bara tertuju pada sang dokter sekarang. “Bagaimana keadaan Lintang, Dok?” tanyanya.
“Keadaannya baik-baik saja, cuma ada hal yang harus diperhatikan saat ini, yaitu kandungannya. Kandungan Lintang masih lemah, jadi Lintang tidak boleh melakukan hal-hal berat, harus istirahat dan dijaga pola makannya, jangan lupa makan vitamin. Kehamilan di masa remaja seperti Lintang, rentan keguguran,” jawab sang dokter menjelaskan dengan panjang lebar.
Bara mengangguk paham, jelas sekali ia mencerna setiap inci kata yang dokter itu lontarkan. Lalu, atensi Bara tertuju pada Lintang.
“Gue khawatir banget sama lo, gue takut terjadi apa-apa sama anak kita,” ujar Bara pelan pada Lintang.
“Jadi, anda ini suaminya?” Kini sang dokter yang bertanya, membuat pandangan Lintang dan Bara tertuju padanya serempak.
“Saya—“ ucapan Bara terpotong.
“Saya suaminya, dokter,” potong cowok di ambang pintu. Cowok yang tak lain dan tak bukan adalah Garis.
Sukses, Garis jadi pusat perhatian. Lintang terkejut, karena mendapati kedatangan Garis yang tiba-tiba. Buru-buru, Garis dengan napas yang terengah-engah itu menghampiri Lintang. Sepertinya, Garis habis berlari. Terlihat, dari keringat dan deru napasnya.
“Lo enggak apa-apa?” tanya Garis sebari duduk di samping bibir kasur, di sebrang Bara.
“Aku enggak apa-apa,” jawab Lintang serak
Napas Lintang mendadak tercekat, hatinya juga mendadak bergemuruh. Bagaimana tidak, saat ini Lintang tengah diapit dua cowok sekaligus. Di samping kanan ada Bara, dan di samping kiri ada Garis. Sungguh, Lintang sangat gugup dan tak tahu harus apa.
“Baik, kalo begitu saya permisi. Untuk suaminya Lintang, tolong nanti ditebus obatnya, permisi,” pamit sang dokter diangguki kepala dan senyuman tipis dari ketiga remaja itu.
“Lo apa in Lintang, hah?!” Garis menatap Bara dengan nyalang.
“Gue enggak apa-apain Lintang, gue gak mungkin mencelakakan Lintang. Apalagi, anak yang ada dalam kandungan Lintang itu anak gue, mana tega gue bikin Lintang celaka,” jelas Bara, santai.
Garis berdecih, bersamaan dengan itu ia tersenyum miring. “Cowok kayak lo, mana bisa dipercaya,” desisnya.
“Kak Garis, Bara gak salah,” sahut Lintang sebari memegangi lengan Garis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Lintang [SELESAI]
Teen Fiction[DIHARAPKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Lintang Amoza cuma gadis cupu yang sering jadi bahan bullying di sekolah. Menyukai Bara Aldian Adiwijaya sudah ada di dalam kamus hidupnya, tekadnya untuk mendapatkan Bara membuat Lintang mengubah dirinya, ia yang...