9. GARIS RAKANSA

2.1K 369 17
                                    

Lintang baru saja menapaki kakinya di depan pintu rumah. Tapi dari luar sudah terdengar jelas percekcokan antar kedua orang tuanya, bahkan Lintang sampai tersentak kaget saat mendengar suara pecahan barang dari dalam.

Setelah lama terdiam, akhirnya Lintang memutuskan untuk tidak masuk kedalam rumah. Gadis itu memilih pergi, sudah cukup rasa sakit dari Bara yang menimpanya, ia tak mau lagi rasa sakitnya bertambah karena kedua orang tuanya.
Jujur, Lintang butuh jeda untuk hidupnya.

🖤🖤🖤

Senja di ufuk barat sudah menyapa, langit biru kini berangsur jingga. Hingga tanpa dirasa, tetes demi tetes hujan tiba-tiba saja turun memaksa redam bisingnya ibukota. Aspal hitam kian legam tersiram jutaan air hujan, bau petrichor mulai menyengat hinggap di indra penciuman.

Sadar akan hujan yang mulai deras, akhirnya Lintang memutuskan untuk berteduh di sebuah halte yang tak jauh dari tempatnya berdiri kini. Lintang mengelap tubuhnya yang terlanjur basah karena air hujan dengan segera.

“Aduh, dingin banget lagi.” Lintang bergumam kecil, tubuhnya menggigil.
Angin yang semakin berembus kencang, membuat benteng pertahanan Lintang hampir saja runtuh.

Pasalnya, Lintang tak biasa dengan hawa dingin yang mencekam seperti ini. Belum lagi, kilat demi kilat terus menghampiri. Membuat Lintang sedikit ketakutan. Pasalnya kini ia sendiri. Tidak ada siapa pun. Bahkan jalanan mendadak lumpuh.

Brak!

Lintang terperanjat, matanya membelalak saat mendapati seorang cowok berjaket hitam jatuh di hadapannya. Entah berasal dari mana, tiba-tiba saja cowok itu muncul. Lintang mundur, hingga punggungnya menyentuh pilar halte.

“Aduh, sial, kenapa hujan sih.” Cowok yang baru saja jatuh itu menggerutu. Badannya basah kuyup. Sebari menyugar rambutnya yang basah, ia perlahan bangkit.

Langkahnya yang lebar, berhasil membawa tubuh jangkungnya untuk berteduh di bawah atap halte. Cowok itu terus berdecak kesal. Walaupun tersedia bangku besi memanjang, ia lebih memilih berdiri.

Seolah memang tidak peduli perihal cowok yang baru saja jatuh itu, Lintang hanya terdiam. Tubuhnya semakin menggigil. Ia memeluk tubuhnya sendiri, dengan erat.

Sesekali telapak tangannya ia gosokkan ke lengannya dan pipi, guna memberi efek hangat. Yang sayangnya tidak berlangsung lama.

Karena pada nyatanya, hawa dingin yang menang dan mendominasi tubuh Lintang sekarang.

“Permisi.” Suara serak-serak basah yang tercipta dari pita suara cowok itu, mampu menginterupsi Lintang.

Lintang menoleh sedikit, tubuhnya refleks menjauh sesaat cowok itu tiba-tiba duduk tanpa izin dan permisi di sampingnya.

“Iya?” sahut Lintang kikuk. Bibirnya bergetar.

Cowok itu berdeham, sebari membasahi bibir bawahnya. Melihat gadis di hadapannya kedinginan sampai-sampai menggigil, jelas rasa iba muncul.

“Cuma mau nawarin, mau pakai jaket gue gak?” tawar cowok itu.

Lintang terdiam sebentar, hingga akhirnya kepalanya menggeleng.
“Enggak usah,” tolak Lintang datar.

Tanpa menoleh. Kini atensi gadis itu benar-benar tidak beraturan.

“Tapi, lo kelihatan butuh jaket, tubuh lo aja menggigil gitu,” kata cowok itu sebari mengamati tubuh Lintang yang bergetar.

Dengan bibir bergetar, Lintang berusaha menoleh sepenuhnya. “Tapi, kita gak saling kenal,” ujar Lintang langsung disambut tawa renyah oleh cowok itu.

“Emangnya mau bantuin orang harus saling kenal dulu?” Cowok itu menggelengkan kepala tidak percaya. Bahwasanya, masih saja ada orang yang gengsi dibantu.

“Gue gak bisa liat cewek kedinginan.” Cowok itu lantas membuka jaketnya, lalu menyodorkannya pada Lintang.

“Eh,” Lintang bersuara canggung.

“Pake aja, jaket gue tebal dan anti air, jangan siksa diri lo sendiri. Gue tau lo gak kuat dingin,” kata cowok itu terkesan memaksa.

Dengan tangan gemetar, Lintang perlahan mengambil jaket tersebut, membuat senyuman ramah dan penuh kedamaian dari cowok itu tercetak jelas. Lintang memakainya dengan segera. Syukurnya, masih ada orang baik yang mau membantunya. Saat jaket tersebut sudah membalut tubuh Lintang, ia baru bisa merasakan sedikit hangat. Setidaknya, Lintang tidak tersiksa oleh embusan angin yang berembus ganas menerpanya.

“Hangat ‘kan?” Cowok itu kembali bersuara, membuat Lintang mengangguk sambil tersenyum tipis.

Lintang kembali membuang wajah. Pandangan gadis itu, kini kembali fokus ke depan, menatap lalu lintas yang terlihat masih lumpuh karena terpaan hujan. Hingga tanpa disadari, cowok disampingnya itu berdiri seperti tengah bersiap pergi. Lintang refleks menoleh. Menatap cowok itu bingung. Hujan masih deras, dan dia mau pergi?

“Mau kemana?” tanya Lintang.

Cowok itu menoleh sekilas, sebelum benar-benar pergi. “Mau pergi,” jawabnya.

“Jaketnya?” Lintang ikut berdiri, tangannya sudah siap membuka jaket. Namun, tangan kekar cowok itu menahannya.

“Gak usah dibuka, pakai aja. Nanti kalau kita ketemu lagi, lo balikin jaketnya,” ujar cowok itu.

“Tapi—”

“Gue permisi,” pamit cowok itu, berlari tergesa-gesa meninggalkan halte. Membiarkan air hujan mengguyurnya hingga tak bersisa.

“EH! NAMA KAMU SIAPA?!” teriak Lintang.

“GARIS RAKANSA!” balas cowok itu tak kalah teriak. Tanpa menoleh lagi pada Lintang.

Lintang tertegun ditempatnya, ia menatap kepergian cowok yang kini sudah diketahui namanya dengan datar. Tidak ada raut apa pun yang Lintang tunjukan. Kosong. Pupil matanya memanah Garis. Hingga tidak lama berselang, punggung kokoh cowok itu hilang dari pandangan. Termakan jalan, dan terselimuti air hujan.

“Garis Rakansa,” sebut Lintang sebari meremas jaket yang ia kenakan.

Garis Lintang [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang