30. LINTANG CINTA GARIS

2K 299 32
                                    

Dengan langkah lebar, Garis berjalan menyusuri setiap ruangan rumah sakit. Matanya sedikit menyipit saat mendapati Sintia yang tengah terduduk di ruang tunggu, tepat di depan ruang rawat inap Bara sekarang.

“Mamah,” panggil Garis, membuat Sintia menoleh.

Sintia yang tadinya terduduk kini berdiri dan langsung memeluk Garis saat anaknya itu sudah sampai di hadapannya. Sintia menangis, mungkin ia cemas dengan keadaan Bara.

“Bara, mamah takut kenapa-napa, Gar,” ucap Sintia terisak.

“Mamah yang tenang, Bara pasti baik-baik aja, Bara itu anak yang kuat, percaya sama Garis kalau Bara bakal baik-baik aja.” Garis mengelus lembut punggung Sintia, berusaha menenangkannya.

Suara decitan pintu terbuka dari dalam ruangan Bara membuat Sintia sontak melepaskan pelukannya. Keduanya buru-buru menghampiri sang dokter.

“Gimana keadaan anak saya Dok?” Sintia bertanya dengan nada cemas.

“Anak Ibu baik-baik saja, hanya ada luka jahit di bagian kepalanya,” terang dokter tersebut.

Sintia dan Garis berucap syukur sebari menghela napas lega
“Kami boleh masuk Dok?” Kini giliran Garis yang bertanya.

“Silakan, kalau begitu saya permisi.” Setelah mengatakan hal itu, dokter tersebut pergi dengan salah satu susternya di belakang.

Garis dan Sintia buru-buru masuk ke dalam ruang rawat inap Bara, saat kedua kaki mereka menapak di dalam ruangan, hal yang pertama keduanya lihat adalah Bara yang terbaring dengan mata yang terpejam.

Entah tidur, atau masih belum sadarkan diri akibat pengaruh obat.

“Bara ...,” Sintia terisak sebari mengelus lembut rambut sang anak.
Garis yang berada tepat di samping Sintia hanya bisa diam.

“Kamu itu nakal sih, kenapa harus selalu ngebut di jalanan,” omel Sintia pada Bara yang masih setia memejamkan mata.

Tak lama, Bara mengerjapkan matanya perlahan saat dirasa mendengar suara sang ibu dan belaian lembutnya. Pelan-pelan sekali akhirnya mata Bara terbuka lebar.

“Bara, kamu udah bangun, Sayang?” Sintia tersenyum senang, ia dengan sengaja duduk di bibir kasur.

“Mah,” Bara bersuara parau. Napasnya tercekat, rasa sakit di bagian kepalanya mulai terasa.

“Kenapa Bara? Bara mau apa?” tanya Sintia dengan sigapnya.

Tak langsung menjawab, Bara lebih dulu menatap ke sekelilingnya, menyapu bersih pandangannya hingga matanya terhenti pada Garis, lalu tak lama kembali lagi pada Sintia.

“Mah,” Bara kembali memanggil.

“Bara ingin Lintang,” pintanya.
Sintia sontak langsung menoleh kearah Garis. Matanya dengan mata Garis seolah tengah berbicara.

“Lintang enggak akan kembali lagi sama kita, dia udah enggak mau.”

Garis buka suara akhirnya. “Fokus kesembuhan diri lo aja, jangan mikirin Lintang, dan jangan berharap Lintang mau kembali sama lo, dia udah mati rasa,” tambahnya.

Sintia meneguk salivanya, setelah beberapa bulan yang lalu tahu kebenarannya, sempat juga Sintia kecewa dengan tindakan kedua anaknya. Yang sangat Sintia sayangkan adalah, Lintang pergi tanpa kabar. Padahal, Sintia sangat menyayanginya layaknya anak sendiri.

“Gue mau Lintang, Bang, gue butuh dia,” pinta Bara dengan nada kian melemah.

“Bara, Lintang kan belum ketemu Sayang,” ujar Sintia berusaha memberi pengertian.

Garis Lintang [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang