33. AWAL UNTUK AKHIR

2.8K 316 76
                                    

3 bulan kemudian

Dalam kurun waktu 3 bulan ini, kehidupan Lintang seakan mulai membaik. Ia dikelilingi banyak orang yang menyayanginya. Tinggal bersama Sintia, Bara, dan Garis dalam satu atap yang sama.

Usia kandungannya sudah menginjak 9 bulan jalan, itu tandanya beberapa hari atau mungkin bisa lebih cepat dari perkiraan, Lintang akan melahirkan anaknya ke dunia. Bersama dengan Bara, hari-hari Lintang selalu diselingi tawa bahagia. Walaupun dalam hati, nama Garis tetap saja bersemi.

Pagi hari ini, di kediaman Adiwijaya tengah melakukan sarapan pagi, sekaligus tengah berbincang hangat mengenai rencana kuliah Garis. Keputusan sudah bulat, setelah lulus Garis akan memilih kuliah di luar negeri, di London. Jelas, keputusan Garis itu membuat Lintang terpukul. Gadis itu harus menelan pil pahit yang begitu mengiris hati dan benteng pertahanannya.

“Kalau nanti lo udah kuliah di luar negeri, jangan lupa main ke Indonesia ya, jengukin gue, Lintang, sama anak gue nanti,” kata Bara sebari melahap roti di tangannya.

Garis hanya mengangguk. Entahlah, sejak beberapa bulan ini, Garis lebih banyak diam. Cowok itu menjelma menjadi cowok dingin, irit bicara, dan pelit ekspresi.

Satu hal yang pasti, Garis berubah itu karena Lintang.

“Oh iya, Lin, kamu udah beli kebutuhan bayi belum?” Sintia bertanya dengan senyuman yang merekah. Tak sabar, menyambut sang cucu rupanya.

“Belum, Mah, kata Bara pulang dia sekolah,” jawab Lintang sebari menatap Bara, lalu beralih pada Sintia.

“Iya, Mah, nanti Lintang, aku, sama Bang Garis bakal beli—”

“Kenapa gue ikut?” Garis menyela perkataan Bara.

Bara berdecak, menoleh kearah Garis dengan air muka kecewa. “Yah lo harus ikutlah, bantuin gue, kan pasti banyak belanjanya,” kata Bara. Garis mau tak mau mengangguk.

“Oke, hari ini juga kan ulangan kelulusan terakhir, pulang pasti lebih cepet,” ucap Garis datar.

“Nah, maka dari itu, lo harus ikut!” Bara menepuk-nepuk pundak kakaknya itu.

Selang beberapa menit kemudian, ritual sarapan pagi itu sudah terlaksana. Kini, Bara dan Garis sudah bersiap berangkat ke sekolah. Lintang sebagai seorang calon istri, mengantarkan Bara sampai teras. Memang, ini sudah menjadi jadwal rutin Lintang karena permintaan Bara.

Walaupun sebenarnya tubuh Lintang sudah berat karena perutnya sudah membesar. Namun jika ditinjau ini adalah kewajibannya. Hitung-hitung percobaan saat menjadi calon istri, jadi jika nanti sudah sah, Lintang terbiasa, begitu kata Bara.

“Gue berangkat dulu ya, Sayang! Jaga diri baik-baik, jangan kerja apapun itu di rumah, cukup duduk manis,” pesan Bara pada Lintang yang berdiri di hadapannya.

Lintang mengangguk sebari tersenyum tipis. Sementara Garis yang juga berdiri di hadapan Lintang hanya bisa diam mengalihkan pandang kearah lain.

“Cepetan, mau sampai kapan natap Lintang gitu? Gak takut matanya copot?” sindir Garis.

Bara berdecak. Atensinya terus saja mengarah pada Lintang. “Gue berangkat, ya!” Bara mengecup kening Lintang dan juga perut besar gadis itu. Bara mengelus perut Lintang sambil berkata, “Ayah Bara berangkat sekolah dulu ya, cepat keluar, rasanya udah gak sabar ayah pengen liat kamu,” kata Bara.

Garis Lintang [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang