25. Sadness & Anger

1.3K 238 53
                                    

"Karena kehamilannya belum terlalu jauh, itu bisa dipertimbangkan, tapi seperti yang saya katakan sebelumnya, plasenta mungkin akan berpindah lebih jauh selamaa masa kehamilan," jelas dokter,

"Dan bagaimana jika itu tidak terjadi? " tanya Jeon sedih, pikirannya berada dalam pertarungan yang kacau.

"Aku tidak akan menggugurkan anakku!" seru Jennie, meskipun suaranya bergetar, keyakinan itu masih terlihat jelas dimatanya.

Jeon berbalik, menatap mata Jennie yang dipenuhi air mata. Hidungnya merah dan matanya sembab, membuatnya tampak seperti sesuatu paling rapuh yang pernah dilihatnya.

Jeon ingin memeluknya, menangis bersamanya, tapi ia malah mengeraskan rahang dan berucap....

"Jennie, aku sama sekali tidak menginginkan pilihan ini. Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi, tapi -tapi kau bisa saja mati," jelasnya dengan nada rendah, begitu rendah sehingga Dokter bahkan tidak bisa mendengarnya.

Jennie melihat kesedihan di mata pria itu dan ia tahu bahwa Jeon juga sedih dan terluka, tapi ...

"Bayinya juga bisa mati, Jeon." bisiknya.

Jeon duduk di sampingnya, memegang tangan Jennie, membawa tangan itu ke bibirnya, menempatkan ciuman lembut di punggung tangannya.

"Kita bisa mencoba memiliki bayi lagi setelah ini." ucapnya, ingin menanamkan pilihan lain di kepala sang wanita.

Jennie menggelengkan kepalanya cepat. "Tapi aku mungkin tidak akan punya kesempatan lain," ucapnya sedih.

"Kalau begitu kita bisa mengadopsi, Jane." ucap Jeon tak kalah sedih.

Tapi tunggu! Apa yang aku katakan?-pikir Jeon.

Pria itu tahu bahwa kata-katanya tidak masuk akal dan bahkan terdengar bodoh, tetapi Jeon tidak ingin Jennie kehilangan harapan. Dia harus menanamkan semacam harapan di kepalanya.

"Tidak. Kita bahkan bukan pasangan." bisik Jennie, "Aku....aku...." terhenti karena tidak yakin harus berkata apa lagi.

Jeon meletakkan dahinya di atas tangan mereka yang terjalin, mencoba mengendalikan dirinya sendiri. "Apa kau tidak mengerti, Jane." suaranya bertambah pelan. "Kau bisa saja mati!" bisiknya, menatap tepat ke dalam mata Jennie yang berkaca-kaca.

"Setidaknya aku harus berjuang untuknya." ucap Jennie, menggunakan tangannya yang bebas untuk menyeka wajahnya. "Jeon, aku akan melahirkan bayi ini tidak peduli jika aku akan mati setelahnya. Aku tidak percaya kau akan berpikir untuk membunuh anakmu sendiri," dia mendengus dan Jeon bisa melihat kekecewaan di matanya.

Jennie menurunkan kakinya dari tempat tidur, melangkah dalam diam ke balik tirai untuk mengganti pakaian. Jeon menghela napas berat, menoleh pada Dokter yang masih berdiri disana, menyaksikan pasangan yang dikiranya suami istri itu dengan rasa empati.

"Apa yang harus aku lakukan?" tanya Jeon dengan putus asa.

"Dia tidak ingin menggugurkan anaknya, jadi kurasa tidak ada yang dapat kau lakukan untuk itu. Namun, kau bisa membantu dengan memastikan Istrimu terhindar dari segala macam stress selama masa kehamilannya. Tidak stres, tidak melakukan pekerjaan berat dan pastikan ia selalu mengonsumsi beberapa obat yang akan aku resepkan. Pastikan dia makan dengan benar dan istirahat yang cukup. Nona Jennie mengalami komplikasi yang jarang terjadi pada wanita, dan itu adalah sesuatu yang serius. Mari berdoa dan semoga saja ketika kalian datang lagi, plasenta nya akan berpindah," jelas dokter dengan senyum diwajahnya.

Jeon mendengarkan setiap bagian dari apa yang dikatakan Dokter kepadanya, memastikan bahwa dia akan melakukan hal yang benar ketika mereka pulang.

Bound By A Child  ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang