Hanya Angka

11 5 0
                                    

Rangking hanya angka. Itu memang bukan sebuah kebohongan. Tapi betapa beartinya angka itu di sekolah ini. Rangking adalah angka yang menentukan masa depan.

    Sudah dua minggu sejak Aluna kecelakaan di dekat sekolah. Berita mengenai kecelakaan itu menyebar cepat. Apalagi Aluna hanya masuk di dua hari terakhir saat evaluasi dan tidak ada evaluasi susulan dalam keadaan apapun. Pastilah posisinya sebagai rangking dua akan tergeser. Daisy si ranking satu bisa merasa yakin posisinya sebagai rangkin 1 paralel dapat dipertahankan. Para guru sedang berdiskusi mengenai hal ini. Apakah Aluna dapat bertahan di kelas unggulan atau dipindahkan ke kelas reguler.

    “Saya rasa kami tetap harus memindahkannya ke kelas reguler.” Wanita berusia setengah abad itu memberikan komentar. “Sesuai dengan ketentuan.”

    Para guru-guru yang duduk melingkar mengangguk. Sebagian tidak. “Tetap saja ia selama ini sudah banyak menyumbangkan banyak medali untuk sekolah. Apalagi kecelakaan itu sudah terbukti kesalahan sopir itu karena mabuk. Tidak ada yang akan  menyangka hal ini.”

    Wanita lima puluh tahun itu, Vira. Hendak menyangkal, “Ya ya ya. Ia akan bertahan di kelas ini walau nilainya hancur begitu?”

    Si pria merasa diremehkan. “Maaf Bu, tapi coba pikirkan lagi. Masih ada siswa yang bahkan tidak memiliki daftar prestasi terbaru. Apa kita gak coba mempertimbangkan hal itu?”

    Para guru yang menyimak mulai membenarkan Pak guru itu.

    “Kecelakaan itu tidak akan terjadi jika dia berangkat lebih pagi.” Vira tetap ngotot. Membuat suasana memanas.

    “Bu Vira!”

    “Apa? Memang iya kan? Cobalah berpikir logis.”

    “Apa tadi yang ibu katakan itu logis?”

    “Sudah-sudah. Keputusan Pak Gio sudah keluar. Aluna akan dipindahkan ke IPA 2 dan akan ada siswa yang menggantikannya.” Salah satu guru baru keluar dari ruang rapat. “Tidak perlu adu argumen.”

    Bukan karena Aluna tidak pantas lagi menjadi siswi kelas unggulan tetapi karena Aluna tidak punya cukup uang untuk menutup mulut para guru.  Bukankah sejak jaman paleolitikum, si berkuasa selalu menjadi yang paling bertahan?

    Pagi ini para siswa dari semua tingkat dan kelas berkumpul di ruang tengah, mendengak melihat spanduk besar yang terpasang dari pembatas lantai dua. Terpampang jelas nama-nama mereka dan urutan rangkingnya. Paralel dari 1-440 terpasang di sana. Ucapan harapan tersebut dari mulut mereka. Berharap nama mereka ada di 20 besar agar bisa tinggal di kelas unggulan. Namun sebagian pula, terkejut dengan nama di urutan teratas bukan lagi Daisy Arice Nova.

    Trithan Neptune. Justru itu yang tercetak jelas di atas spanduk itu. Daisy meremas rok pendeknya hingga kusut seperti perasaannya hari ini. Bagaimana bisa? Siapa si Trithan ini?

    Dia yakin sudah menyingkirkan rumput liar yang mengganggu hidupnya. Tetapi apa ini? Namanya justru tersemat di rangking 2.

    Sial!

    Sementara Fuschia tersenyum. Rangkingnya mengalami kenaikan. Sebelumnya ia rangking 20 kini naik  menjadi 19. Masih lebih baik dari pada rangking terakhir. Sementara Aluna 440, Cetta bertahan di rangking 10, Naury 13.

    “What the fu*k. Trithan rangking pertama?”

    “Dibalik muka wibunya ternyata ia cukup mengejutkan.”

    “Baru kali ini anak IPA 14 masuk kelas unggulan secara drastis.”

    “Ah itu mah karena dia kebetulan dia anak baru makanya masuk kelas buangan.”

Sunflowers In The Grass (tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang