Pulih untuk Memulihkan

9 0 0
                                    

“Begitu, ya? Maaf aku udah salah paham. Tapi bukan berarti aku bener-bener melupakan hal ini ya. Aku minta maaf karena itu saja, masalah kamu, belum.” Fuschia menunduk.

    Feliz hanya tertawa kecil. Fuschia tetap menggemaskan.

    “Apapun itu makasih buat bunganya. Aluna pasti senang.” Meski bibirnya mengatakan ‘pasti’ tapi sebenarnya Fuschia tidak tahu apakah Aluna benar-benar senang atau tidak, bisa jadi sekarang Aluna marah karena Feliz datang terlalu lama. Hanya Aluna dan Tuhan yang tahu.

    Feliz menautkan alis bingung. “Bukan aku. Aku kan baru datang di saat terakhir.”

    “Eh? Terus siapa dong?”

    “Mungkin seseorang yang sayang sama Aluna. Aku yakin itu.”
Hujan mereda. Seiring waktu mereka hanya bisa terdiam bingung, mereka terpisah lama sekali. Banyak hal yang ingin diceritakan. Fuschia menatap Feliz yang justru menatap langit menerang. Apa cowok itu sama sekali tidak penasaran tentang kehidupannya sekarang? Sedangkan di benaknya sudah ada banyak pertanyaan tertahan dari mulut mengenai Feliz. Pertanyaan-pertanyaan sederhana seperti, bagaimana kehidupannya sekarang, bagaimana teman-temannya, lingkungan, suasana hatinya setiap hari, mungkin juga hobi baru apa yang dimilikinya, apakah Feliz masih bermain panahan?
Namun Fuschia tidak berani untuk bertanya. Ia hanya mengatakan harus segera pergi ke rumah sakit. Mau tak mau, hari itu, mereka berpisah lagi.

Sebelum keluar, Feliz sempat menahan tangan Fuschia. “Kita harus bicara lebih banyak. Kamu pulang jam berapa?”

***

    15 tahun lalu
    Rain mendengar berita itu ketika baru saja mengerjakan soal ke 14. Tangannya sudah gemetar, berita itu menyebar dari mulut ke mulut. Berawal dari seorang pengawas ruang sebelah yang datang ke kelas dengan tergesa, membicarakan berita hangat itu ke pengawas ruang ini. Tak sengaja Rain mendengar pembicaraan mereka.

    Lembar jawaban cowok itu sudah basah karena air mata. Namun, ia masih ingin tetap meyakini keyakinannya, bahwa Aluna tidak apa-apa, gadis itu sekarang sedang mengerjakan ujiannya, yang dibicarakan mereka bukan Aluna, pasti bukan.

    Rain mengangkat tangan, “Boleh saya minta lembar jawaban baru?”

    Ya, begitulah akhirnya. Rain bisa meraih juara 2 di olimpiade yang tidak terlalu kondusif karena banyaknya kasus. Ia bermodalkan keyakinan bahwa Aluna masih ada. Aluna masih hidup. Hanya saja tidak ada waktu untuk menemuinya. Semua ia tanamkan jauh dari lubuk hati, sampai ia kembali di dunia nyata ketika panitia mengalungkan medali dan menyerahkan sertifikat.
 
  Bahwa bukan Aluna yang berdiri di atas panggung untuk menerima juara 1 ketika nama pemenang kelas 10 diumumkan. Bukan Aluna. Aluna telah kalah. Pikirnya. Aluna tidak berhasil menang. Tidak, bukan karena Aluna telah tiada, tapi ia hanya belum menang tahun ini.

   Untuk tahun-tahun berikutnya di Sunflower High School, Rain lalui dengan kenyataan bahwa tidak ada lagi gadis cantiknya di dunia.
 
  Luka itu masih ada. Perasaan trauma akan kehilangan seseorang, sangat menyakitinya. Hal itu menjadikan Rain lebih protektif pada keluarga kecilnya sekarang.
 
  “Ayah! Sepatu aku di mana? Kata Mama ayah yang taruh kemarin!” Itu anak perempuan kecilnya sekarang, ia sudah kelas 2 SD.

    Rain menjawab sembari memakai gesper, “Udah Ayah buang, soalnya solnya udah licin. Nanti kamu bisa jatuh kepleset. Jadi sepatu baru kamu ada di rak paling bawah.”

   Putrinya itu langsung menangis tak terima sepatu kesukaannya telah dibuang. “MAMA! AYAH BUANG SEPATU PINK AKU!”

***

    Naury segera menghampiri Fuschia yang datang ke tokonya dengan keadaan basah kuyup, tak lagi bertanya kenapa, Naury mengajak Fuschia masuk ke ruang pribadinya untuk berganti pakaian kering. “Maaf Fus, aku Cuma ada kameja ini doang, banyakan kaos perusahaan.”

    “Gak apa-apa. Si Cetta mau ke sini?”
  
“Iya. Bawa bayinya keluar buat pertama kali. Aku merasa terhormat jadi toko pertama kali yang bayi itu kunjungi.”
   
Fuschia hanya menanggapi dengan senyum, kemudian menutup pintu. Memberi ruang untuk berganti pakaian. Sepuluh menit kemudian ia keluar, dan Cetta dan bayinya sudah duduk di sudut khusus di toko kue itu. Naury membuatkan sebuah ruangan kecil khusus sahabat-sahabatnya kalau berkunjung.

   Dengan gemas, Fuschia mengambil alih bayi Cetta ke pelukannya. “Bau bayi enak banget. Kok udah sepanjang ini aja ya, kemaren kecil banget. Siapa sih namanya, gue lupa lagi.”
 
  Cetta menghembuskan napas. Apa nama yang diberi untuk bayinya terlalu sulit dilafalkan? Apa sebaiknya diganti saja?
 
  “Ca Ca siapa tuh? Lupa gue. Lo kasih nama rumit banget Cetta.”
 
  Untuk ke sekian kali Cetta menjawab, “Chessayaora Amaryllis Calla. Panggilnya Chessa. Simpel, kan?”
 
   Fuschia hanya manggut-manggut, sementara Naury meneguk kopi latte buatannya sendiri sebelum berbicara, “Pasti dari nama bunga. Amaryllis, artinya kebanggaan, pemalu, dan kecantikan yang memuaskan. Calla, kecantikan yang indah. Keren kamu cari namanya. Tapi, nama depannya dari mana?”
   
Cetta takjub sekaligus bingung, dahinya mengerut, tampak berpikir. “Hmm, mungkin karena gue ngidam keju pas hamil. Keju, cheese?”
   
Pembicaraan tentang pemberian nama berlanjut sampai entah kenapa Cetta dan Naury menyinggung kenapa Fuschia datang pagi-pagi ke toko kue Naury seperti orang menganggur.

    “Gue habis ketemu Feliz.”
  
Seketika saja mereka terkejut. Mulutnya membulat, membentuk huruf O. “SERIUS? Dia masih hidup?”
   
“Serius, dia bilang masih sayang sama gue. Tapi gue harus gimana ya? Terus dia ngajakin ketemu kalau gue udah pulang kerja nanti. Sebelum kalian komentar macam-macam, gue berangkat kerja dulu, udah mau telat ini. Nanti telepon aja ya.” Fuschia berdiri, mengembalikan bayi Chessa ke pemiliknya, mengambil tas pinjam milik Naury. Kemudian membuka pintu. Melambaikan tangan pada dua sahabatnya.
  
“Hati-hati Fus!” teriak Cetta.

***
  


    Sudah 15 tahun berlalu sejak hari itu dan Daisy masih hidup terluntang-lantung tanpa arah. Hari-hari dilaluinya penuh penyesalan. Tak lagi ingat hari, tanggal atau tahun berapa hari ini, esok, kemarin atau apapun. Ia hanya ingat posisi matahari ketika ia makan, mandi, atau konsenling dengan psikiater yang menganggapnya gila. Daisy tidak mengerti, kenapa ia terkadang tangannya harus diikat, terkadang dipaksa bercerita tentang hari itu. Padahal ia tidak ingat. Ia tidak mau mengingatnya. Ia hanya membrontak sedikit, tapi orang-orang berseragam biru tua itu akan mengikat tangan dan kakinya di atas ranjang. Kemudian dipaksa menelan banyak obat yang membuatnya mengantuk.

   Iya baru bebas 5 tahun lalu. Namun bukan berarti ia bisa kembali ke kehidupannya yang normal. Tak lagi ada ujian, tugas dan apapun tentang sekolah yang disukainya. Kali ini ia hanya berusaha untuk mencari cara untuk menghasilkan uang. Karena ayahnya tidak mungkin terus-menerus membiayai kehidupannya.
 
  Ia hanya perlu duduk di depan komputer untuk menghasilkan uang. Rupanya otak pintarnya masih ada.
  
Daisy menulis sesuatu di selembar kertas sebelum pergi ke luar rumah.
   
Hal terakhir yang dilakukan di dunia ini: beli bunga warna putih.

Sunflowers In The Grass (tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang