Formulir

28 17 1
                                    

Ada kata-kata yang sering dilontarkan guru-guru saat memasuki kelas-kelas di lantai bawah. Terutama kalau kamu adalah anak baru. “Jangan kalian kira, adanya perbedaan kelas membuat kita berat sebelah. Tidak! Kita memperlakukan kalian sama. Pembelajarannya juga sama. Bedanya, mungkin hanya prilaku anak kelas unggulan dan yang bukan. Anak kelas unggulan, lebih kritis dan selalu bertanya. Jika kalian ingin masuk ke kelas unggulan, mulailah dari rasa ingin tahu yang besar dan jangan malu untuk bertanya!”

    Kenyataannya adalah, banyak terjadi kesenjangan sosial. Fasilitas yang tidak merata dan semacam anggapan bahwa anak-anak yang gagal masuk kelas unggulan adalah murid buangan. Terutama kelas 14 di semua tingkatan. 

    Tidak seperti biasanya, kantin pada jam makan siang ini sepi. Tidak seperti biasanya. Hampir seluruh murid memakai lencana keemasan di atas saku kemeja.

    Fuschia dengan teman-temannya seperti biasa, mengambil tempat dekat kaca. Sekalian menikmati pemandangan cowok-cowok main bola di halaman sekolah. Bisa jadi, jika cowok-cowok itu menendang bola ke arah kaca pasti pecah dan genre cerita ini berubah menjadi horor.

    “Tumben banget kantin sepi.” Fuschia mengedarkan seluruh pandangan ke kantin. Beberapa orang masih mengantri untuk mengambil lauk. Namun, tak lama kemudian, antrian itu habis. Menyisakan petugas kantin yang bisa bernapas lega sembari merenggangkan pundak mereka. 

    “Mungkin di kantin lantai 3 ramai. Atau jangan-jangan makanan di sana lebih enak?” Dugaan Cetta lumayan masuk akal.

    “Tapi kenapa hanya anak kelas unggulan aja yang ada di sini?”

    Daisy menahan nasi yang tadinya akan masuk ke mulut. “Diam dan makan saja.” 

    Fuschia terdiam, mungkin saja memang benar dugaan Cetta.

    Dugaan yang sebenarnya adalah, guru-guru memperpanjang jam pelajaran mereka 15 menit lebih lama. Tepat setelah Fuschia mengunyah potongan ikan terakhir, murid-murid kelas 2 sampai 14 berbondong-bondong mengantri. Berdempetan. Berebut. Dan terjadilah kericuhan. 

    “Gue duluan yang dateng!” 

    “Sial! Lauknya tinggal dikit, apa yang akan kita makan habis ini?”

    “Apa anak emas itu sengaja mengambil banyak lauk dan menyisakan kita lengkuas?”

    “Lauk di kantin bawah hanya tersedia sayur. Akan aku laporkan hal ini pada ayahku.” 

    Dan banyak lagi umpatan-umpatan kasar yang terlontar. Petugas kantin kewalahan menghadapi mereka. 

    “Aku mau ke perpustakaan.” Aluna berdiri, tak peduli apa yang sedang terjadi di sekitarnya. Selama hal itu tidak mengganggu kelangsungan hidupnya.

    Daisy juga berdiri, “Aku tidak mau terlibat menjadi saksi mata.” Naury ikut berdiri dan mengikutinya. 

    “Ayo ke taman belakang aja Fus,” ajak Cetta. “Gue juga gak mau repot.”

   

***

    Taman belakang sekolah ditumbuhi banyak bunga matahari. Rimbun. Cenderung tidak terawat dan dibiarkan tumbuh tinggi hingga melebihi tinggi manusia. Daun kering rontok memenuhi tanah yang retak-retak karena sudah lama tidak terguyur hujan. Meski tempat ini terasa tidak nyaman, agak gelap dan sepi, tempat ini lumayan enak untuk menyendiri bagi sebagian murid. Sembari memikirkan hal yang lumayan berat dan harus diselesaikan di kepala mereka. 

    Fuschia mendengak, menatap satu persatu bunga matahari yang mulai kering. Ini pertama kalinya pergi ke taman—atau lebih tepatnya kebun pohon jati karena lebih mendominasi—selain karena lumayan jauh dari gedung utama, Fuschia memang belum tahu bahwa kebun ini sangat nyaman untuk melamun. Cetta berjalan di depannya, jarak mereka lumayan jauh. Dia sudah sering ke sini. Sendirian. Baru kali ini mengajak seorang teman. “Sepertinya lo udah sering ke sini,” tanya Fuschia. 

Sunflowers In The Grass (tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang