Keluarga Cemara

13 2 2
                                    

Sampai di rumah Than di kawasan perumahan elit, Daisy langsung menghampiri Bunda Than yang sedang memberi pupuk tanaman bunga mawar miliknya. Daisy menahan semu merahnya ketika Fransiska memuji penampilannya. "Cantik banget kamu Nak, tumben sekali Than bawa temennya ke rumah, biasanya dia yang main ke rumah temennya. Sekali bawa langsung cewek cantik nih."

Than tidak bisa menahan diri untuk tidak menunjukan rasa salah tingkah. Menggaruk tengkuk, dan kaki yang memainkan batu di bawahnya.

"Jadi aku yang pertama ya Than?" canda Daisy sambil tertawa ringan. "Aku izin ngerjain tugas sama Than ya."

Fransiska mengangguk-angguk sambil tersenyum ramah. "Iya silakan Nak."

Daisy berjalan di belakang Than yang mengajaknya makan siang terlebih dahulu di meja makan. Setelah dua porsi nasi padang telah siap di piring, Than makan dengan lahap tanpa sendok. Membuat Daisy memegang sendok dengan ragu. "Emang enak makan langsung pake tangan?"

"Enak. Dulu waktu gue di panti asuhan, makan kayak gini udah paling mewah."

Namun Daisy tetap memutuskan makan menggunakan sendok, akan menggelikan kalau banyak nasi yang terselip di kuku-kukunya.

"Ini first time lo makan nasi padang?" tanya Than.

"Iya. Gue ragu gak sakit perut abis makan ini," jawab Daisy sambil mengaduk nasi dengan kuah. "Soalnya waktu itu gue makan nasi uduk yang di pinggir jalan pas lagi jalan-jalan di Bandung. Terus dua jam setelahnya perut gue berasa panas, mual-mual juga. Ternyata karena gak terbiasa makan makanan bersantan."

Mendengar penjelasan Daisy, Than mencegahnya makan. "Stop. Lo jangan makan itu. Mending masak mi instan."

"Gue gak bisa masaknya. Ini gue makan aja, dari pada buang-buang makanan."

Tidak mau melewatkan momen Daisy pertama kali makan nasi padang, Than menatapnya lekat-lekat. Apakah Daisy akan bereaksi dengan porsi sambal yang terlalu banyak atau justru biasa saja? Secara Daisy itu anak orang kaya dari lahir yang pasti jarang menyentuh street food yang pengolahannya sebagian kurang higenis. Than juga ingat sang bunda yang juga mengalami gejala serupa ketika makan sembarangan. Apa semua orang kaya dari lahir begitu? Astaga.

"Lo ngerjain gue ya?" Daisy sewot dengan wajah memerah.

"Gue bikinin mi aja ya." Cowok itu bangkit dari tempat duduk menuju wastafel. Setelah mencuci tangan, Than merebus air panas di panci kecil.

"Lo ngasih sambelnya seberapa banyak?" Daisy sudah menghabiskan dua gelas air. Saat ini wajahnya seperti terbakar.

Berusaha mengalihkan pembicaraan, Than berkata, "Mau pake telor atau engga? Pake udang, suka gak?"

"Kayaknya gak mungkin inisiatif dari yang jual gak sih, Than? Than! Liat ke sini."

Saat menoleh, Than tercengang melihat wajah Daisy yang merah seperti tomat. Kalimatnya pada si penjual terngiang, "Pedesin aja semuanya, sambelnya agak banyakin." Bukan maksud ngerjain sih, tapi keinginannya melihat Daisy kesal juga salah satu keinginan Than.

"Hehe." Tawa cengengesan diiringin senyum lebar menghiasi wajah Than. "Maaf Sy. Abisnya gue juga mau tanya lewat telepon, tapi lo udah matiin. Yaudah biar simpel aja."

"Oh biar simpel ya."

Than berusaha menahan tawa. Hatinya puas dapat melihat kondisi muka merah Daisy. Kalau jarak ponsel dekat dari tangan, Than pasti sudah memotretnya beberapa kali.

"Ketawa aja gausah ditahan," ujar Daisy.

Kurang ajar memang, Than jadi tertawa beneran. Namun berusaha membungkam mulut. "Tapi, Sy." Than memelan.

Sunflowers In The Grass (tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang