Asal Kemarahan

13 2 0
                                    

            Acara makan tanpa berbincang pasti hanya menghabiskan waktu kurang dari sepuluh menit. Selagi para bibi pamer tentang anak-anak mereka yang berhasil kuliah di universitas bergengsi, Fuschia pura-pura tidak peduli dengan menyantap hidangan penutup berupa puding dan banyak makanan manis.

"Enak juga makanan buatan pembantumu, Magentha," ujar anak perempuan tertua di keluarga yang menurut Fuschia paling julid di antara saudara papa yang lain.

Magentha hanya tersenyum menahan jengkel. "Jelas, juru masak di sini terlatih, mantan chef resto langganan Ibuku dulu."

Jelas sekali Magentha tak mau kalah. Sang ipar tertua apalagi, ia kemudian merembet-rembet ke Gren. Fuschia hanya menelan ludah, sebentar lagi pasti gilirannya.

"Gren, kapan lulus S1-nya? Kemaren anak Tante pas S1 lulusnya Cuma tiga setengah tahun, terus langsung lanjut S2 di Korea. Tahu gak? Anak tante belajar bahasa Korea-nya otodidak lho, Cuma nonton drakor, tiba-tiba dia bisa sendiri."

Fuschia takjub dengan sikap tenang kakaknya itu. Gren mengelap mulut kemudian menjawab santai, "Tante tau gak? Kebetulan saya pernah ketemu Kak Jia pas mau ketemu dosen di tempat kursus bahasanya."

Wanita berumur 50 tahun itu mulai merasa terintimidasi. "Mana mungkin, dia cuma sibuk kuliah, gak mungkin nyempetin waktu buat kursus kayak gitu."

"Makanya, Tan. Saya juga kaget pas Kak Jia bilang mau cepet-cepet pergi ke Korea. Tau gak kenapa?"

"Udah Gren. Diam, masih di meja makan jangan buat keributan." Magentha menatap Gren memberi isyarat agar Gren tidak meneruskan ucapannya.

"Gren...." Randita juga ikut menyuruh Gren diam.

"Memang anakmu gak punya sopan santun gak kayak anak saya. Gimana Fuschia, habis SMA mau kuliah di mana?"

Tidak meleset sama sekali dugaan Fuschia. Cepat- cepat Fuschia meneguk air untuk menjatuhkan segumpal kue coklat yang memenuhi tenggorokan. Cengkramannya pada gelas menguat, padahal ia masih kelas 10 namun semua orang sudah terobsesi untuk memasukannya ke universitas. Seluruh pasang mata menatap, membuat Fuschia merasa teintimidasi.

Melihat Fuschia hanya diam wanita setengah baya itu kembali menyerocos, "Ah, belum terpikirkan ya? Soalnya sepupu-sepupumu juga sudah nentuin mau kuliah di mana dan jurusan apa." Tante Piska tersenyum menatap anak-anaknya yang duduk di sebelah kanan Fuschia. "Apa mau jadi dokter seperti ayahmu?"

"Aku...," jawab Fuschia ragu. "Aku ingin bermain biola."

Tatapan mereka berubah menjadi bingung. Namun, melihat sang nenek tersenyum kearahnya, Fuschia merasa sedikit lega.

Fuschia melirik Magentha yang menatapnya tidak suka.

Tante berdecak, "Oh, mau jadi vionist seperti nenek ya?"

Nadanya seperti meremehkan. Telapak tangan Fuschia mengepal. "Memangnya kenapa kalau aku hanya bermain di okestra?! Apa itu salah?"

Fuschia meruntuki dirinya sendiri yang bahkan tidak mampu untuk sekedar meninggalkan meja makan. Kata umpatan yang ingin disembur pada tante sialannya, bahkan tidak sampai di tenggorokan.

Yang akhirnya dilakukan adalah tetap duduk diam sembari sesekali tersenyum tentang apapun komentar bibi dan pamannya.

"Memangnya biola bisa membuatmu punya status sosial seperti papamu?"

"Cla udah diterima di UI lho."

"Kamu memang beda banget ya dari orang tuamu."

"Ngikutin jalur nenek, ya?"

Sunflowers In The Grass (tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang