Semua manusia pasti punya penyesalan. Entah itu penyesalan karena gagal melakukan seseuatu atau melakukan sesuatu yang tidak diharapkan. Aluna menggigit jari, perban di telapak tangan sudah dilepas. Ia benar-benar tak tahan dengan perban tebal itu. Tangan kirinya menggenggam pensil erat. Soal ini seharusnya tidak sulit jika saja dia tidak menghabiskan waktu semalam dengan keluyuran di jalan. Seharusnya ia duduk di meja belajar sampai tertidur di atasnya. Aluna ahli di matematika. Untuk kimia, Aluna mungkin harus belajar lebih keras lagi. Apalagi selama enam bulan terakhir, fokusnya hanya untuk olimpiade matematika.
Waktu satu jam bagai di neraka. Fuschia menghembuskan napas lega, selega leganya. Dia menengok-nengok sedikit ke Aluna, kemudian Daisy. Mereka masih sibuk mengerjakan soal. Daisy mengambil penggaris dari tempat pensil kain. Fuschia terkesiap.
“Lah, kok dia pake penggaris? Perasaan gue gak ngerjain garis-garis?” Melihat Daisy menggaris-garis, Fuschia kembali mengecek soal dari atas.
Namun Fuschia tidak mengerti. Daisy tidak mungkin salah, dia rangking satu paralel! Fuschia melihat Aluna yang juga menggunakan penggaris 15 cm. Fuschia mengacak rambutnya frustrasi, soal mana yang mereka maksud?
Lima menit kemudian bel berdering. Pergantian pelajaran ke lima. Masih ada satu pelajaran lagi sebelum pulang.
***
“Sialan, kimia tadi susah banget. Gue gak yakin, pelajaran yang keluar sudah dipelajari sebelumnya.”“Bener banget. Baru kali ini gue benci kimia. Banyak soal jebakan pula.”
“Apa kabar gue yang benci kimia daridulu.”
Terdengar gerutuan para siswi di lorong sekolah. Fuschia menggenggam tali tas, menghembuskan napas. Rupanya ujian dua jam lalu tidak benar-benar dadakan. Hari ini tidak ada jadwal les, ia langsung menaiki bus, pulang ke rumah.
Tukang kebun berlari antusias membukakan pintu gerbang ketika mendengar langkah kaki anak majikannya. Tukang kebun baru itu tersenyum semringah. “Selamat datang, Nona. Mau saya bawakan tasnya?”
Fuschia menggeleng. “Bapak terusin aja kerjanya, besok-besok gak perlu bukain gerbang,” jawab Fuschia sambil berjalan ke rumah. “Satu lagi, Bapak jangan panggil saya Nona-nona. Panggil Nak, atau Fuschia, saja.”
“Jangan gitu dong, Nak. Gerbangnya berat. Kan, sudah pernah coba buka sendiri, alhasil gerbangnya gak kebuka.”
Ditanggapi anggukan malas, Tukang Kebun baru itu kemudian melanjutkan pekerjaannya, memberi pupuk tanaman-tanaman mahal milik Magentha.
Para asisten rumah tangga sedang sibuk membereskan rumah. Mereka terlihat tergesa. Setelah sepatunya terlepas, Fuschia berjalan ke kulkas, mengambil kaleng soda. Asisten-asisten terlihat lebih sibuk dibanding biasanya. Fuschia menyuruh salah satu dari mereka yang sedang memasak makan malam mendekat. “Ada apa ini?”
“Ibuk nyuruh kami bersihin seluruh sudut rumah. Soalnya Nak Cyan lagi flu, pasti karena debu dari pojok-pojok rumah katanya.”
Magentha turun dari tangga melingkar perlahan-lahan. Menatap Fuschia yang tengah asik minum soda di ruang makan. “Gimana ujian kimianya?”
Pertanyaan Magentha membuat Fuschia terkejut, hampir tersedak kola. Kenapa Ibunya tahu tentang ujian ini? Apa artinya sekarang Fuschia tak punya ruang untuk bersembunyi sama sekali?
Magentha bersedekap dada mendekati putri pertamanya itu. Menagih jawaban pasti.
“Ujian kimia hari ini lagi rame dibahas di base twitter sekolah. Hasilnya bahkan bisa jadi trending juga, jadi kamu jangan mempermalukan Mama.” Magentha duduk di sebelah Fuschia. Gadis itu seketika meneguk ludah. Udara jadi terasa panas. Fuschia menyeka keringat, padahal AC menyala 24 jam nonstop, selalu dingin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sunflowers In The Grass (tamat)
Fiksi Remaja"Lo hanya rumput yang tumbuh di sekitar bunga indah seperti gue." Bagi orang-orang di sekitar Aluna, dia hanya terlihat seperti gadis biasa. Memang tidak ada yang begitu mengganggu dari Aluna. Namun, bagi Daisy, Aluna itu rumput liar yang selalu men...