Semua Keputusan Selalu Sebanding dengan Konsekuensi

11 3 1
                                    

Obrolan Fuschia dan Aluna berakhir ketika alarm pengingat waktu berdering. Jam 11.50. Pangsit goreng dan teh dingin juga telah habis. Namun sebelum mereka benar-benar pamit ke ruang club masing-masing, tiba-tiba, Aluna mengajak Fuschia foto bersama. Hal yang bukan Aluna banget.

"Ayo foto dulu." Aluna mengeluarkan ponsel dari saku celana denim warna hitam. "Nanti aku posting di instagram."

"Lah, bukannya lo bukannya uninstall instagram ya?" tanya Fuschia bingung, mengingat dengan jelas ketika Aluna menghapus aplikasi instagram sejak satu semester lalu. Terlalu mengganggu waktu belajar, katanya.

"Mendadak aku install lagi dua hari lalu. Buat cari kalimat motivasi," jawab Aluna jujur. "Kata-kata itu berpengaruh ternyata."

Mereka sudah berjalan sekitar 100 meter keluar kantin. Kemudian Aluna berhenti tepat sebelum menaiki tangga. "Di sini aja," ujar Aluna. Sembari membuka kamera di ponsel.

Fuschia manut saja. Mereka berpose dengan berbagai macam gaya, dengan Fuschia yang menggendong tas biola. Setelah membuat Aluna puas dengan hasilnya, baru deh mereka benar-benar berpisah. Masuk ke ruang club masing-masing di lantai empat.

Meski agak aneh dengan sikap Aluna yang mendadak ceria, tapi Fuschia sebenarnya ikut senang. Sesampainya di ruang club, masih tersisa lima menit lagi hingga guru datang. Disempatkan untuknya membuka aplikasi instagram yang ia buka karena ada notifikasi langka masuk.

[Alunaruzi] mentioned you in their posts.

Caption dalam foto itu, membuat hati Fuschia menghangat.

Difficult choice, hopefully no a choice that will be regretted. All decisions are always worth the concequences. Fighting!

Ya. Semua keputusan selalu sebanding dengan konsekuensi. Entah ia akan bertahan di biola atau perintah Magentha, selalu ada konsekuensi dibalik itu semua. Tidak ada yang benar-benar baik atau buruk. Baru ia akan share ke story, guru sudah masuk kelas.

***

Kemarin, pada sore hari, Magentha sudah bersedekap dada sambil menunggu Fuschia pulang. "Kamu mau dianggap gila, Fuschia?!"

"Baru Mama doang yang bilang gitu lho. Aku gak gila!" bantah Fuschia, ia baru saja melangkah masuk ke rumah tapi Magentha sudah mengatai anaknya gila.

"Kamu ini!" Suara Magentha meninggi. Berdiri dari posisi duduk santainya. "Gak sadar apa udah bikin takut sekeluarga gara-gara kamu? Bahkan kamu sudah berhalusinasi."

"Aku emang lagi sedikit stres aja sama tugas sekolah. Gak usah diperpanjang deh."

"Stres sedikit?" Wanita 50 tahunan itu berdecak tak percaya dengan jawaban Fuschia yang terkesan tak peduli. "Yang sedikit saja kamu gak bisa memanajemennya apa lagi kalau kebetulan stres banyak?"

Fuschia memutar bola mata malas. Tangannya memegangi kepala yang seolah akan meledak. "Mama ngomong gini aja aku udah pusing tahu!"

Bukan Magentha jika mau kalah dari anak-anaknya. Harga diri sebagai orang tua yang paling tahu anaknya akan runtuh jika kalah berargumentasi. "Berarti kamu memang lagi sakit, Fuschia! Dasar keras kepala."

"Mama juga sama saja keras kepalanya kayak aku!"

"FUSCHIA!" bentak Magentha. Membuat pekerja di rumah tersentak kaget, buru-buru pergi meninggalkan Magentha berdua dengan Fuschia.

"Iya-iya maaf." Hanya bentuk seolah menyerah, padahal dalam hati, Fuschia sedang mendumal kesal.

"Untung Bu Shinta maklumi jadwalnya yang mendadak Mama ganti gara-gara kamu."

Sunflowers In The Grass (tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang