"Oke."

20 4 38
                                    

Aluna dan Daisy sudah saling mengenal sejak mereka sama-sama duduk di bangku sekolah menengah pertama. Mereka teman sekelas. Bahkan dahulu, mereka seperti kembar siam yang tidak bisa dipisahkan. Di mana ada Aluna di sana ada Daisy. Menghabiskan banyak waktu untuk bercanda dan belajar bersama. Mereka hanya berpisah ketika pulang sekolah. Daisy pulang dijemput dengan sopir pribadinya bersama Bianca, dan Aluna akan pulang dengan bus umum.

"Besok kita coba es krim di sana yu." Sekilas percakapan tentang mereka muncul lagi di pikiran Aluna. Waktu itu mereka masih kelas sembilan.

"Kenapa gak sekarang aja?" jawab Aluna. Namun tanpa Daisy jawab, Aluna sudah mengerti alasannya. Sepulang dari sekolah, masih banyak les yang menunggu. "Oke, besok ya."

Di depan sekolah pukul dua siang, dengan sengaja Daisy selalu bilang ke sopirnya kalau dia mau dijemput jam setengah tiga dengan alasan eskul atau jam tambahan untuk konsultasi ke guru dan alasan lain agar dia bisa berbincang di kursi panjang lobi sekolah dengan Aluna.

"Kamu mau SMA di mana?" Aluna bertanya sambil menatap Daisy. Tatapannya penuh harapan agar bisa bersekolah di tempat yang sama lagi.

"Gue udah daftar di SHS, yang deket dari sini," jawab Daisy yang saat itu masih memiliki rambut pendek. "Tinggal ujian masuk aja nanti tanggal lima belas."

"Aku belum tahu mau di mana."

"Kalo gitu bareng gue lagi aja di sana."

Aluna menunduk. Dia ragu. Selama ini ayahnya lah yang merencanakan semuanya, di mana Aluna akan sekolah atau nilai berapa yang harus Aluna dapatkan. Terutama tentang nilai, Aluna dituntut untuk selalu mendapat nilai di atas 96 di mata pelajaran apapun terutama matematika. Untuk ujian nasional nanti, Iskandar sudah memperingatkan kepada Aluna berkali-kali untuk mengincar posisi teratas dan menjadi lulusan terbaik di angkatan.

Karena sekolah memberikan penghargaan dan tabungan pendidikan untuk pendidikan selanjutnya untuk posisi 'spesial'. Untuk mendapatkan posisi spesial pasti harus ada yang dikorbankan.

"Aku belum tahu mau di mana."

Daisy bergunam. "Maaf karena gue tadi siang nuduh lo yang ga bener."

Aluna mengangguk. "Gak apa, kan udah biasa."

Si rambut gelombang itu tertawa. "Tau gak sih? Setiap hari gue mikirin gimana caranya nyingkirin lo, tapi gue juga gak tenang kalo lo ga masuk."

"Aku emang ngangenin sih."

"Tapi Lun."

"Ya?'

"Kalau suatu saat kita gak punya banyak waktu buat ngobrol kayak gini lagi, atau kita udah gak sedeket kayak sekarang karena kesalahpahaman yang sering terjadi, gue harap lo selalu inget hal yang baik dari kita. Terus jangan nyebarin hal buruk yang pernah kita lakuin." Daisy berkata serius. Membuat Aluna jadi diam sambil merenunginya.

Daisy memang temannya yang menyebalkan dan selalu ingin mendapatkan semuanya, egois. Semua orang beranggapan begitu. Namun jika duduk berdua seperti ini, membuat Aluna dapat melihat sisi lain Daisy yang belum pernah diperlihatkan kepadanya.

Melihat Aluna hanya diam, Daisy menyadari ucapannyan mendadak terlalu puitis. "Dan nanti kalau SMA, gue mau punya kisah romantis ala-ala drama korea, punya pacar ganteng terus jadi siswi famous yang namanya terkenal di mana-mana."

Aluna tertawa. Indahnya ekspetasi anak SMP saat itu. "Terus kalau masuk TV jangan lupa bawa-bawa nama aku ya."

"Kalo gitu ayo kita masuk TV sama-sama."

"Dai, Kak Je kan SMA di Belanda." Lagi-lagi Aluna akan menggoda Aluna dengan menyebut-nyebut Kak Je—mantan Ketua OSIS tahun lalu.

"Diem lo." Daisy akan memalingkan muka jika mendengarnya. Dan canda tawa hari itu akan berakhir jika Daisy sudah dijemput untuk pulang.

Sunflowers In The Grass (tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang