Food Fest

32 18 13
                                    

Menjengkelkan sekali! Sungguh Daisy tidak tahan. Semua terlihat menyebalkan. Dia memarahi semua yang ia temui di jalan. Membentak batu yang memuatnya hampir tersandung, dongkol dengan daun jatuh yang mengenai wajah, bahkan dia membatalkan semua rapat MPK-OSIS. Termasuk janji temu dengan Ketua MPK yang mendadak ingin berkonsultasi dengannya. Daisy tidak peduli anggapan dirinya tidak profesional karena mencampur aduk antara masalah pribadi dan masalah organisasi. 

    Dongkol sekali hatinya apalagi saat Bianca berbicara di depan kelas sambil tersenyum menatapnya tadi. 

    “Bagaimana perasaanmu setelah berhasil mendapat 3000 dollar untuk ini Bianca?” tanya Bu Jessi menatapnya penuh kebanggaan. 

    Bianca tersenyum lebar menatap seisi kelas, dalam hatinya menjerit senang. Bukan karena 3000 dollar itu pastinya, tapi kepuasan hati karena berhasil membuat Daisy berwajah masam. “Saya senang sekali sekaligus kaget. Karena jujur, tidak menyiapkan apa-apa untuk ujian. Kurasa ini keberuntunganku saja.”

    “Kamu rendah hati sekali Bianca, tapi Ibu yakin ini bukan hanya sebuah keberuntungan semata, pasti karena Bianca belajar setiap hari dengan keras.” Bu Jessi tersenyum. Daisy sungguh ingin muntah saat Bianca semakin melebarkan senyumannya. 

    Gadis itu masuk mobil, teleponnya berbunyi lima belas detik kemudian. 

    Reflek Daisy menjauhkan handphone saat mendengar suara melengking. “LO KEMANA AJA?”

    “Pulang,” jawab Daisy santai, punggungnya dia senderkan di jok mobil. “Gue capek.”

    Diara—teman organisasinya yang super cerewet di sebrang sana, menghembus napas gusar. “Lo ini apa-apaan sih? Kemaren lo yang bikin jadwal rapatnya sedemikian rupa supaya gak bentrok sama jadwal bimbel dan eskul lo, sekarang semua orang udah nunggu, lo batalkan begitu saja?!”

    Panggilan diputus sepihak oleh Daisy, terlalu malas menaggapi. Feliz bisa menjawabnya nanti. 

    Diara di ruang OSIS menatap seluruh orang yang hadir di meja putar  itu. “Daisy gak jawab ocehan gue. Langsung dimatiin.” 

    Feliz baru memasuki ruangan. “Daisy tadi sudah izin sama saya kok. Mungkin dia kecapean.” Laki-laki itu kemudian duduk di salah satu kursi. “Saya mulai saja ya.” 

    Kalau ternyata masuk organisasi itu semerepotkan ini, seharusnya dia tidak perlu mendaftar dari awal. Jadwalnya sudah kelewat penuh oleh bimbingan dan ekstrakurikuler. Awalnya niat Daisy hanya ingin menambah nilai plus pada dirinya agar semakin mencolok dan dikenal serta menambah relasi. Hidup lebih mudah kalau banyak kenalan yang siap membantu, pikirnya. 

    Mobil memasuki halaman parkir rumah Daisy. Langkahnya terburu-buru agar cepat sampai di rumah, di ruang tamu, dia melihat Bianca dan tutor pribadinya duduk berhadapan, tak biasanya. Bianca selalu belajar ruang belajar pribadi dan selalu dikunci. Daisy mencoba tak peduli, melangkah melewati mereka, telinganya tanpa sengaja mendengar percakapan mereka.

    “Berjanjilah, ini yang terakhir kalinya. Aku tidak merasa bahagia, walau sudah berhasil,” bisik Bianca. Suaranya sudah diatur sepelan mungkin apalagi Daisy masih menaiki tangga. 

    “Kalau begitu, kamu yang harus berusaha lebih keras lagi. Bagaimana respon Papamu?” Sang Tutor bertanya, Daisy tidak mendengar apalagi yang dikatakan Bianca, lebih tepatnya, tidak perlu mendengar kelanjutannya karena Daisy sudah paham apa yang terjadi. 

    Sial!

        ***

    Suasana di ruang rapat sore itu lumayan serius. Apalagi Daisy sebagai bendahara tidak hadir dalam rapat itu. Pembimbing minta laporan keuangan serta saldo uang kas yang sudah dihitung, beliau sempat marah saat mengetahui Daisy pulang tanpa alasan dan izin kepadanya. Namun untungnya pengumpulan laporan keuangan itu bisa diundur selama tiga hari. Pembahasan berlanjut ke eskul. 

Sunflowers In The Grass (tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang