[Hari ini jam sebelas ya.] tulis Kaiden di grup club olimpiade. Pagi-pagi sekali. Iskandar sudah memakai seragam putih biru lengkap dengan name tag bertali biru tua. Hari ini hari sabtu. Tandanya tersisa dua hari lagi menuju olimpiade. Aluna memanggil ketika Iskandar sedang mengambil sepatu dari rak.
"Ayah."
Ada sensasi aneh di dadanya ketika Aluna menyebut sosok ayah dengan nada rendah. Tidak ada nada kemarahan atau kekesalan yang selama ini selalu terlontar pada sosok itu. Pria dengan brewok kasar bekas cukuran itu menoleh, menatap Aluna.
Sejak kapan ayah menjadi terlihat serapuh itu?
Kulit coklat tua dan mata yang tampak lelah. Seperti sudah dipaksa terjaga beberapa hari. Untuk sesaat, semua perlakuan kasar Iskandar selama ini seakan menguap ke udara. Hanya sisa-sisa rasa bersalah pada sosok itu. ia tidak tahu apa nama yang pasti untuk perasaan ini.
"Kamu gak harus memanggilku 'ayah' jika keberatan," ujar Iskandar sembari menaruh sepatu ke lantai. Memakai sepatu kulit yang disemir setiap hari minggu sebelum pergi ia ke gereja.
Langit masih gelap. Selain sensasi aneh di dadanya, Aluna sedikit menggigil karena hawa dingin menusuk kulit.
Iskandar lagi-lagi menoleh. Memberi tatapan bingung. Sebelum menjawab, "Uang jajanmu untuk seminggu ada di atas meja makan."
Aluna menggeleng. Bukan itu maksudnya. "Aku sayang Ayah."
Air mata akhirnya turun dengan deras. Membasahi pipi. Berkali-kali ia mengusapnya kasar.
Aluna sama sekali tidak bisa membenarkan perbuatannya pada Iskandar. Selama ini ia hanya selalu menyalahkan Iskandar. Seseorang yang paling khawatir dengannya saat sakit. Juga sosok 'sok' kuat dan menyimpan banyak rahasia sendirian. Rupanya selama ini, mereka tidak cukup berkomunikasi sebagai keluarga.
Pria itu menghembuskan napas gusar. Rupanya Aluna sedang mencari Bintang. Mungkin saja Aluna memimpikan Arunika dan Bintang sampai bisa mengatakan hal seperti itu. "Ayah kamu sudah punya keluarga baru. Gak usah mencarinya lagi. Sana mandi, matahari sudah muncul."
Meninggalkan Aluna yang masih membeku di tempatnya sembari menatap lantai putih polos. Iskandar naik ke atas motor matic hijau keluaran sepuluh tahun lalu. Memakai helm. Saat itu juga, Aluna memanggilnya lagi. "Kamu itu Ayahku. Aku gak butuh siapapun lagi selain Ayah!"
Wajah Iskandar dibalik helm itu tersenyum, berdecak, "Jangan teriak-teriak, malu didenger orang. Sana mandi jangan nangis, cengeng!" Setelah itu ia mengendarai motor, meninggalkan Aluna dan pagar besi yang terbuka lebar.
***
Feliz sudah lebih baik dari pada kemarin. Alat-alat kesehatan sudah mulai dilepas. Menyisakan cairan infus. Fuschia tersenyum melihatnya. Cowok itu juga membalas dengan semyum lebih lebar.
"Padahal ini hari sabtu. Kenapa pagi-pagi sudah ke sini? Hari ini ada latihan biola ya." tanya Feliz yang ia jawab sendiri ketika melihat tas biola warna pink muda dibawa atas pundak Fuschia.
Fuschia menganngguk. "Iya. Hari ini aku emang mau latihan biola jam 11."
"Semoga nanti aku bisa nonton kamu secara langsung deh."
"Loh emangnya Kakak pernah nonton aku secara gak langsung dari mana?" tanya Fuschia. Alisnya bertautan.
Feliz menjawab enteng, "Youtube. Pas kamu masih sekecil ini." Telapak tangannya mengatung seukuran setengah tubuhnya, mengira-ngira tinggi anak kecil yang ia tonton di youtube semalam sambil mengerjakan latihan soal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sunflowers In The Grass (tamat)
Teen Fiction"Lo hanya rumput yang tumbuh di sekitar bunga indah seperti gue." Bagi orang-orang di sekitar Aluna, dia hanya terlihat seperti gadis biasa. Memang tidak ada yang begitu mengganggu dari Aluna. Namun, bagi Daisy, Aluna itu rumput liar yang selalu men...