Potongan rambut kecil-kecil terserak-serak di lantai kamar, terseret oleh kaki Daisy. Kamar gadis itu terlampau luas dengan cat biru muda, kini lebih mirip dengan kandang kerbau. Di salah satu sisi dinding terpajang beberapa medali tergantung. Itu hanya sebagian bukti prestasi sisanya terpajang di ruang tamu sehingga siapapun yang datang bertamu akan langsung melihat berbagai prestasi Daisy dan Bianca. Namun, di rumahnya yang besar, rumah Daisy sangat sepi dan terbilang sunyi. Tak lebih dari suara mesin penyedot debu atau mesin cuci yang dijalankan oleh pembantu. Para tamu terutama relasi Gio biasanya lebih sering janjian di hotel atau villa. Para tetangga pun begitu, jarang bertamu atau berkumpul untuk berbincang seperti ibu-ibu pada umumnya. Meski begitu bukan berarti benar-benar individualisme, mereka hanya berinteraksi serperlunya.
Tidak ada yang mendengar jeritan Daisy semalam. Tidak ada yang bertanya apakah dia baik-baik saja. Semalam, entah berapa pukulan yang Daisy terima dari ayahnya. Raganya terkoyak, tersakiti. Meninggalkan bekas-bekas luka yang mendalam yang tak sebanding dengan rasa sakit di dadanya. Gadis itu mengusap rambut gelombangnya, mengingat ketika Gio menarik rambutnya hingga ke melemparnya ke kolam renang yang dingin. Fisiknya terluka. Meninggalkan lebam kebiruan di bawah matanya. Malam itu dia berusaha berenang sekuat tenaga ketepian. Ibunya hanya menonton sambil menangis. Sebelum juga menjadi korban kekerasan Gio.
Bagaimana dengan Bianca? Kembarannya sedang disiksa, tapi gadis itu hanya sibuk sendiri dengan biola yang suaranya melengking keras dari kamarnya hingga suara itu yang menemani Daisy sebelum tidur.
Daisy menatap cermin, menarik rambutnya. Dipotongnya asal hingga bekas potongan rambut yang menjadi alasan kacaunya kamar Daisy pada pagi harinya.
Daisy mengabaikan poster kata-kata penyemangat yang terpajang di lobi. Di poster itu, senyumnya sangat lebar dengan rambut panjang indah yang selalu dia rawat setiap hari, beda dengan dirinya sekarang.
Gadis itu terkejut ketika foto laki-laki di poster itu seolah bisa berbicara.
"Isy!" Than berdiri di sebelahnya. Daisy mendengak menatap Than. "Gue cakep banget di sini."
Than mendengkus ketika cewek yang dia ajak bicara malah pergi meninggalkannya. "Daisy!"
Tidak ada yang lebih menyebalkan daripada diganggu ketika mood sedang buruk. Tapi Than tidak menyerah dia menyamakan langkahnya dengan Daisy. Dia berkomentar tentang rambut Daisy. "Lo apain rambut lo?"
"Gue tarik sampe putus satu-satu," jawabnya dengan sinis dan terkesan kejam. Tanpa Daisy memberitahupun, sebenarnya Than sudah mengerti apa yang terjadi padanya. Terlebih lagi luka yang tampak pada wajah Daisy sangat jelas terlihat.
Tapi Than berbuat seolah meledeknya. "Yahahaha, rambut lo jelek banget!"
"Nanti gue potong lebih pendek lagi!" Daisy lebih sinis lagi. Namun dia tidak bisa menutupi rasa lelahnya ketika menaiki tangga keempat.
"Kalo gitu tambah jelek dong!"
"Bodo."
Gadis itu menemukan sebuah amplop di atas meja. Surat yang mengharuskannya pergi ke ruang konsenling.
"Mau kabur lagi?" Than memberikan tawaran menyesatkan lagi. Seperti kemarin, alih-alih langsung ke ruang konsenling saat dipanggil, Daisy malah pergi bersama Than ke suatu tempat yang Than sebut sebagai basecamp. Sebenarnya Daisy terpaksa ke mobil karavan bekas yang dalamnya sudah disulap seperti rumah mini itu, tapi satu-satunya tempat yang aman dari pengawasan Gio hanya mobil karavan rongsok itu. Than sempat sensitif ketika Daisy menyebut Olivia sebagai rongsokan. Kalau bisa dibilang, Olivia itu adalah Ibunya Mou, sekaligus tempat kelahiran Mou.
Daisy hanya menggeleng sebagai jawabannya. Kali ini akan dia hadapi sendiri.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Sunflowers In The Grass (tamat)
Teen Fiction"Lo hanya rumput yang tumbuh di sekitar bunga indah seperti gue." Bagi orang-orang di sekitar Aluna, dia hanya terlihat seperti gadis biasa. Memang tidak ada yang begitu mengganggu dari Aluna. Namun, bagi Daisy, Aluna itu rumput liar yang selalu men...