Feliz dan Aluna adalah saudara sebapak beda ibu. Sampai sekarang Aluna tidak tahu siapa ibu kandungnya. Hal itu membuat ribuan prasangka di benak Aluna. Dia meminta agar Feliz bersikap seolah mereka tidak saling mengenal di sekolah. Di pagi hari, setengah enam, Aluna berangkat sekolah terlebih dahulu dengan bus. Baru satu jam kemudian Feliz berangkat ke sekolah. Bus yang sama setiap harinya, di sebelahnya, gadis yang sama juga berangkat dengan bus sekolah.
Fuschia duduk tenang dengan buku fisika. Adakalanya dia harus fokus belajar karena minggu depan akan ada evaluasi tengah semester. Demi senyum Magentha saat memegang raport.
Namun tetap saja, buku fisika membuatnya mengantuk. Tangannya yang terkena sinar matahari menghangat. Dia menoleh sebentar. “Kemarin, kakak gak masuk club ya?”
“Eh, kok tahu?”
“Soalnya bangku sebelahku kosong kemarin pas pulang.”
“Begitu rupanya.” Feliz tersenyum, membuat matanya menyipit. “Kayaknya gue jadi pemilik sah kursi ini deh.”
“Sepertinya begitu.”
Mereka bercakap-cakap sebentar. Fuschia bertanya kesibukan Feliz sebagai ketua School Union, dan Feliz dengan senang hati menjawab. Sementara di depan gerbang sekolah, Cetta menggigit jari. Cemas. Menunggu Fuschia datang. Kakinya terus bergerak, terhentak ke bumi.
Fuschia turun tepat jam 6.40. Cetta menarik tangan Fuschia tak sabar. Fuschia berlari di belakang Cetta. Pergelangan Fuschia ditarik melewati lorong lantai satu hingga ke depan ruang laboratorium kimia.
“Gue capek....”
Fuschia menompa tubuhnya pada tembok. Sambil mengatur napasnya yang tersengal-sengal, Fuschia menatap Cetta yang tampak biasa saja. Anak pecinta alam memang beda.
“Dengerin deh.” Cetta menempel telinga ke tembok. Jendela ruang itu sudah ditutup penuh.
Fuschia mengikuti apa yang dilakukan Cetta.
“Kenapa sih?”
Jari telunjuk berdiri di bibir Cetta. “Sutt.”
_Sunflowers in the Grass_
Daisy menatap Aluna, bukan tatapan seorang teman, tapi musuh yang harus disingkirkan. Jemarinya menggenggam rok pendek itu hingga kusut. Aluna duduk di kursi sambil bersedekap dada, menatap Daisy tenang.
“Sudah sadar apa kesalahan lo, kan?”
Aluna menautkan dahi, matanya berputar-putar menatap atap putih di atasnya. Seakan berpikir. “Hm. Karena aku berhasil membuat Pak Kaiden dan Bu Ara puas dengan jawabanku. Itu membuatmu kebakaran jenggot.”
“SIAL!”
“Sepertinya Pak Kaiden akan menunjukku untuk olimpiade deh.”
Daisy berteriak. “Diam!” Dia mendekat, tempo napasnya tak beraturan, dan tangannya terus terkepal di rok.
“Maaf-maaf. Tapi aku hanya menjawab pertanyaanmu saja.” Aluna terkekeh. Masih bersedekap dada.
Daisy mengambil dan menggenggam salah satu botol reaksi ke tangan. Mengangkatnya tinggi-tinggi. “Gak ada yang boleh mengambil kesempatan itu selain gue!”
Tawa Aluna menggema. Membuat botol kaca itu merendah. “Kebetulan aku ingin mati muda.”
Gadis itu berdiri, mengambil botol reaksi itu dari tangan Daisy, botol itu kini berada di atas kepalanya. Siap untuk dijatuhkan darisana hingga mengenai kepala. “Aku sudah lelah.”
Kedua telapak tangan Daisy sudah berada di leher Aluna. Mendorongya hingga Aluna sedikit bergerak mundur, membuat gelas-gelas kaca di meja itu berdenting. “Lo pengen mati?! Setelah apa yang lo raih?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Sunflowers In The Grass (tamat)
Teen Fiction"Lo hanya rumput yang tumbuh di sekitar bunga indah seperti gue." Bagi orang-orang di sekitar Aluna, dia hanya terlihat seperti gadis biasa. Memang tidak ada yang begitu mengganggu dari Aluna. Namun, bagi Daisy, Aluna itu rumput liar yang selalu men...