Everything will be okay, Rianka.
Rapalan itu tidak berhenti saya ucap dalam diam, dalam pikiran, di antara usaha-usaha saya untuk mengumpulkan sisa tenaga demi kembali menjunjung tinggi profesionalitas dalam pekerjaan.
Saya sudah beristirahat penuh selama dua hari, demam saya juga sudah mulai membaik, meski suara saya masih terdengar parau dan terasa panas, setidaknya saya sudah merasa sanggup untuk berhadapan dengan tumpukan laporan naskah mentah dan kawan-kawannya.
Hari ini, sebetulnya saya ingin berangkat menggunakan motor saja berhubung kendaraan roda dua itu sudah sembuh. Namun Papa menolak mentah-mentah setelah mengetahui keadaan saya yang justru belum sembuh, beliau khawatir saya tak bisa fokus, dan ia berpikir jika saya berangkat menggunakan angkutan umum secara tidak langsung saya bisa menambah jam istirahat personal.
Jemari saya mengerat pada tali tas di pundak kiri seiring rajutan langkah saya menghabisi jarak. Dari kejauhan dapat saya lihat teras kantorㅡtempat yang paling disukai oleh hampir semua pegawai itu cukup ramai.
Ramai bagi saya yang tidak mengenali banyak orang (terlebih lelaki) di dalamnya. Kecuali, perempuan berparas manis yang langsung mencuri perhatian di detik pertama saya menginjakkan kaki di sekitar area.
"Pagi, Rianka." Jia, menyempatkan diri menyapa di antara konversasi sibuk dengan teman-teman di sekelilingnya. "Kok aku baru lihat kamu? Kemarin nggak masuk, ya?"
Meski berat, saya paksa diri saya sendiri untuk mengulas senyum ramah, seramah yang saya bisa.
Sebab saya tidak punya alasan untuk menjadi bisu. "Iya, abis sakit."
"Ohh, pantes. Sekarang tapi udah sembuh?"
"Udah baikan kok." Saya mengangguk. "Saya ... duluan, ya."
Tidak lupa juga saya lemparkan senyum tipis-tipis pada orang-orang di sekitar Jia, yang memperhatikan saya lekat sebelum akhirnya saya benar-benar pergi.
Pemandangan itu sepenuhnya membuat saya sadar. Saya bukanlah siapa-siapa dibandingkan dengan Yanjia.
Saya tidak bisa seramah dirinya, cara berbicara saya tidak seanggun dirinya, tampilan saya tidak semanis dirinya, riasan wajah saya tidak semenarik dirinya, saya tidak memiliki teman sebanyak dirinya, saya tidak punya hal untuk dibanggakan seperti dirinya banyak dibanggakan orang lain.
Saya sadar saya bukanlah siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa, jadi, saya harus mengharap apa?
"Riankaaaaaa!!!"
Seruan keras dari vokal familier itu menyambut saya di pintu ruangan sebelum saya sempat melangkah masuk. Begitu saya menoleh, Oliv segera menghambur mendekat dan memeluk saya erat sekali seakan saya baru saja kembali dari tempat antah berantah.
"Kangen bangeettt!" Lanjutnya.
"Aku cuma libur dua hari lho, Liv."
"Sepi ih nggak ada kamu, nggak ada yang bantuin aku." Oliv terkekeh, lalu cepat-cepat melepas pelukannya dan menatap saya sedikit khawatir. "Masih agak anget kamu. Udah sembuh belum?"
"Belum, tapi udah baikan kok."
"Jangan nyalain AC kalau gitu, ya? Biar aku yang matiin. Udah sana kamu ke meja."
"Makasih, ya, Liv."
Oliv tersenyum penuh dan segera beranjak pergi menuju ruangan lain, sementara langkah saya tinggal tersisa enam sampai delapan. Sampai saya menepi pada kubikel saya sendiri.
Sampai manik saya mendapati punggung tak asing itu menyapa netra saya di sekon pertama.
Sampai retorik saya terpaku di tempat, dan begitu saja memutar semua kilas yang telah saya lalui dengan berat hati kemarin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Why We Here
FanfictionPernahkah kamu bertanya, mengapa kita ada di sini? (Was) #1 - hajoon #1 - the rose [ Why We Here ; DAY6's ] ©2020, Nyctoscphile (200320ㅡ210828) All Rights Reserved.