09

83 23 31
                                    

Saya tidak tahu apakah perkataan Bian tempo hari itu benar atau hanya sekadar gurauannya belaka, sebab setelah itu, Bian bersikap seperti biasa pada mulanya. Seperti ia tidak melakukan apa-apa yang membuat saya bingung.

Seperti lupa bahwa saya masih berpijak di ingatan yang sama, dan memori konstan berulang.

Hari ini sedikit berbeda, sudah setengah hari saya duduk bekerja sendirian tanpa umpatan-umpatan khas di belakang punggung saya, tanpa musik-musik sederhana yang terputar lewat ponsel di belakang meja sana, tanpa grasak-grusuk bangku saat karakter dalam gamenya tewas tertembak.

Bian tidak terlihat sejak pagi tadi, keadaan jadi memaksa saya menikmati waktu istirahat sendiri.

Divisi saya adalah salah satu divisi tersepi saat waktu istirahat tiba, sebagian besar dari mereka pergi ke kantin atau yang tidak malas mungkin malah mengendarai kendaraannya mencari makan siang di luar. Tetapi tidak dengan saya, ruangan saya yang kosong dan lengang sudah cukup untuk menghabiskan waktu istirahat bersama segelas kopi cokelat dingin kesukaan saya.

Laptop kerja di atas meja terbuka, penat menampilkan deretan alfabet yang seringkali membuat kedua mata saya sakit, segera saya sematkan tampilan lain berupa musik video dari salah satu idola favorit saya.

Belum lama saya bersenandung kecil sekecil yang saya bisa, decit sepatu terdengar memasuki lorong otomatis menggerakkan refleks saya mengecilkan volume, untuk dapat memutar bangku sedikit dan menemukan siapa yang rela membelah jauhnya divisi saya di siang bolong begini.

Mungkin kamu bisa mulai menebaknya sekarang.

"Ada apa, nih? Kok kayak lagi mogok kerja massal?" Ia bercelatuk asal, tetapi tangannya yang tengah memegang dua naskah kasar tetap terulur pada saya sopan. "Diminta Pak Alan, nitip sama kamu aja, ya."

"Diambil hari ini?"

"Mungkin? Nggak tahu, sih, nggak bilang."

Saya langsung menyimpan benda tersebut di dalam laci meja, seraya mempersiapkan diri sendiri agar bisa mengatur napas dan pacu kerja jantung saya yang mulai mengalami sedikit kenaikan ketukan.

Karena Malik, tidak sepenuhnya berniat pergi dari tempat ini. Ia justru menarik bangku milik Bian dan memutarnya menghadap saya.

"Bian ke mana?"

Akurat. Ia benar-benar mendudukinya.

"Nggak tahu, dari pagi nggak ada. Nggak ngabarin juga."

Malik menelisik ponselnya sebentar, sebelum sepasang mata itu menyipit serius pada layar laptop saya yang masih menampilkan sebuah musik video.

"Kamu suka band juga?"

Saya gelagapan di detik yang sama, sebab Malik tiba-tiba menoleh pada saya tepat di saat saya masih memperhatikan figurnya dari samping.

Kacau. Detak jantung saya makin terasa kacau.

"Iㅡiya, suka."

"Selera musik kamu luas juga, ya." Jawabnya tenang, lalu bersandar pada bangku dengan mata yang kembali lurus memandangi layar laptop saya.

Seperti tidak mengenal kata jera, saya lagi-lagi memperhatikan Malik masih dari sisi ini. Menyaksikan ekspresi wajah di awal yang tampak datar, lalu perlahan demi perlahan membentuk sebuah garis tipis pada bibirnya, sampai kedua mata itu ikut tersenyum dibuatnya.

"Percaya nggak, dulu aku juga punya band."

Saya terdiam, bahkan keterkejutan kecil di dalam diri saya tidak bisa saya utarakan dengan lantang.

"Percaya nggak percaya." Jawab saya singkat.

"Kalau aku ceritain, masih nggak akan percaya juga?"

Why We HereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang