"Even if you're hurt and you don't show it
I'm so scared of seeing the end
In your eyes I can see the emptiness."
The Rose ; She's In The Rain.***
Saya refleks menoleh ke arah kiri begitu terbangun dari tidur, bisa saya temukan Oliv masih tertidur pulas di samping saya seperti beberapa teman saya yang lain. Tentu, siapa yang bersedia bangun atau terjaga pada pukul dua dini hari begini?
Omong-omong soal Oliv, menjelang malam saat saya pulang dalam keadaan basah kemarin, Oliv begitu saja menghambur ke dalam pelukan saya dan berkata bahwa ia sangat khawatir dengan saya, lalu ia banyak-banyak berterima kasih pada satu-satunya entitas yang telah menemukan dan mengantar saya dengan selamat.
Usai pernyataan itu, tidak ada balasan berarti yang sanggup saya utarakan kepadanya. Hening menjadi teman akrab kami sampai akhirnya Oliv mengajak saya untuk masuk dan membersihkan diri.
Saat acara makan malam bersama dimulai, saya tidak memiliki satu bait pun konversasi bersama dengannya. Kami selalu duduk berjarak, meski masih bisa saya rasakan kedua manik itu berkesempatan menilik saya sebentar, sekali dua kali.
Memikirkannya kembali saja sudah membuat saya ingin menangis, karena saya belum setangguh itu untuk menerima realita bahwa dia ternyata memiliki rasa yang sama seperti saya.
Saya mungkin harusnya senang sebab perasaan-perasaan dalam saya terbalas, sebab bukan hanya saya seorang yang berusaha menggapai bersama harap. Tetapi, lagi, kami tidak seharusnya ada di sini.
Meski di antara masing-masing kami tampak tidak ada yang bersalah, tetap dan mutlak, kami ada di tempat yang salah.
Menolak tenggelam dalam kilas-kilas tak pasti itu ternyata lama-kelamaan membuat napas saya kontan tercekat, cepat-cepat saya turun dan meraih jaket tipis saya di tepi ranjang untuk kemudian berlalu, meninggalkan kamar seraya memanjatkan doa agar saya tidak diberi kesempatan untuk melihat makhluk-makhluk tak kasat mata pada dini hari begini.
Namun belum sempat saya menelisik terang cahaya lampu dapur untuk mendapatkan segelas air, langkah saya lebih dulu melintas di ruang tengah yang sepi dan dingin. Ketertarikan saya bukan berhenti di situ, tetapi pada pintu keluar yang terbuka penuh.
Menampilkan sosok seorang lelaki dengan rambut hitam legam menutupi sisi pelipisnya, kedua matanya terpejam rapat, dia terlelap dalam posisi duduk pada salah satu bangku kayu panjang.
Rasa penasaran tinggi membawa saya pada bingkai pintu keluar tersebut, setelah memastikan lelaki di ujung jarak itu memiliki napas konstan naik dan turun, saya turut mengembuskan napas pendek dan tidak lupa memetik kesimpulan bahwa dia adalah seorang manusia sungguhan.
Terlebih, di menit selanjutnya saya menyadari, dialah manusia yang telah mengisi hari-hari saya dalam beberapa bulan belakangan. Manusia yang tahu-tahu telah saya tempatkan dalam satu frasa bersama suka.
Malik--manusia yang saya maksud--tampak tenang dalam tidurnya sendirian, sesekali tangannya bergerak membenahi selimut cukup tebal yang dia kenakan.
Di tempat, saya kian menerka, kiranya apa yang lelaki itu pikirkan kemarin hingga bisa-bisanya dia memilih untuk tidur di bawah langit tanpa tebaran bintang itu? Apakah seisi pikirannya sama seperti milik saya? Atau ada sesuatu yang lebih jauh dibanding dengan pikiran berat saya?
Melihat air wajah tenang pun tidak jarang sulit diartikan itu, saya tanpa sadar meremat jari-jemari saya sendiri di bawah bingkai tersebut. Seandainya saya memiliki hak lebih, atau seandainya saya tidak telak membeku di balik dinding tinggi yang Tuhan ciptakan di tengah-tengah kami, mungkin detik ini juga saya sudah mendeklarasikan seluruh malam saya untuk menemaninya dalam sepi. Mungkin saya sudah membawanya pada aman jika memang itu yang dia butuhkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Why We Here
FanficPernahkah kamu bertanya, mengapa kita ada di sini? (Was) #1 - hajoon #1 - the rose [ Why We Here ; DAY6's ] ©2020, Nyctoscphile (200320ㅡ210828) All Rights Reserved.