27

103 22 17
                                    

Ada beberapa hal yang saya temui di malam ketika lagi-lagi jam lembur terpaksa mencegat saya pulang di waktu normal; satu, kepala bagian kiri dan atas saya berdenyut hebat. Dua, rasa mual yang membuat saya enggan berbicara dengan siapa pun. Tiga, pekerjaan tambahan yang baru tersentuh sedikit. Dan, empat, grasak-grusuk serta suara pelan yang terasa menginterupsi di tengah separuh kesadaran saya.

Kalau kalian pikir saya adalah seseorang yang mudah sakit, itu benar. Apalagi jika saya terus-menerus dihantam oleh banyak pikiran bersamaan dengan banyak kegiatan.

Sewaktu kepala berat saya terlungkup pada tepi meja sebab beban berat seperti memaksa saya untuk melakukannya, mata saya sampai setengah tertutup karena tidak lagi sanggup melihat cahaya keras dari lampu di atas sana, bahkan saya tidak sempat merasakan kapan gulir-gulir keringat itu bermunculan, tahu-tahu bisa saya temukan tengkuk dan telapak tangan saya basah karenanya.

Dan yang paling saya ingat, adalah wajah seseorang yang sudah dua hari belakangan tidak bertukar sapa dengan saya. Entah memang benar atau memang hanya halusinasi saya belaka, saya melihat wajah tenang miliknya mendekat tanpa suara selama beberapa detik sebelum akhirnya saya kembali jatuh terlelap.

Semoga Malik mengerti, jika saya sedang enggan diajak berbicara.

***

Saya tidak tahu berapa lama waktu yang saya habiskan untuk tidur, namun selama apa pun saya tidur dalam keadaan terlungkup di bawah tekanan, saya yakin sakit kepala saya tidak akan hilang begitu saja.

Jadi saya mengerjap pada detik kedua, memaksa diri untuk bangun dan membuka mata yang terasa sangat berat. Jika saya tidak salah lihat, beberapa lampu di luar kubikel saya sudah dimatikan yang artinya, ini sudah lewat dari jam lembur. Yang artinya juga, pasti sebagian besar teman satu divisi saya sudah lebih dulu pulang atau mungkin bahkan sudah menghenyak dalam istirahat.

Kecuali,

"Rianka?"

Kecuali saya serta pemilik suara berat di belakang punggung saya.

"Kamu ... kenapa?" Tanyanya, ragu.

Tidak tahu karena sejak kemarin kami tidak saling bertukar sapa atau karena rasa sakit hebat pada kepala, saya tidak menemukan debaran yang biasa saya temukan tiap kali kami saling bertukar kalimat.

Atau memang jika itu yang terbaik untuk kami, saya tidak akan mempermasalahkan.

"Ka?" Pada akhirnya tetap, saya berusaha memutar bangku, setengah menjawab kebingungan Malik di tempatnya. "Rianka, kamu pucat."

Tidak ada jawaban berarti yang saya berikan sampai beberapa detik kemudian, napas panas saya seakan menahan saya agar tidak mengeluarkan suara dalam bentuk apa pun.

Mungkin menyadari sunyi di antara kami kian membawa canggung, Malik berdeham pelan, tanpa melanjutkan kalimatnya yang menggantung, dia bergegas pergi meninggalkan saya.

Susah payah saya mengabaikan dengan cara membuka laptop yang entah kapan sudah ada dalam keadaan tertutup dan mati. Butuh waktu sekitar dua menit untuk saya menunggu benda elektronik itu menyala, dan butuh waktu dua menit pula saya mendapati pekerjaan tambahan saya beberapa waktu lalu sudah tidak lagi ada di dalam database flashdisk.

Ditambah, dahi saya mengerut sepersekian detik saat menilik log berkas di sisi meja saya juga sudah kosong.

Satu kesimpulan pun saya petik di balik pikiran saya yang rumit; Malik yang menyelesaikannya. Karena hanya dia yang tahu bagaimana caranya mengolah seluruh pekerjaan saya.

Senang? Sedikit. Sisanya, justru kini saya dilanda bingung. Sebab, agaknya, saya lupa bagaimana cara untuk berterima kasih pada seseorang yang tidak saya sapa dalam beberapa hari belakangan.

Belum selesai saya membayangkan banyak kemungkinan, suara langkah kembali terdengar. Memberi jawaban dengan tangan yang terulur ke atas meja saya; secangkir air mineral hangat dan satu strip obat pereda sakit kepala.

"Diminum, Ka. Cuma ada ini di dapur." Katanya, menyerahkan.

Sementara pikiran saya belum beranjak sedikitpun hingga akhirnya Malik kembali mengambil alih keadaan.

"Kenapa dinyalain, sih, laptopnya? Udah aku kerjain semua tadi punya kamu. Tapi flashdisk belum dibalikin, besok aja sama kamu."

Malik berucap panjang dan tenang, seperti biasa. Tangan kirinya menyangga di atas meja sedang tangan kanannya cekatan bergerak pada papan ketik laptop saya, kembali meredupkan benda elektronik itu.

Tidak ada yang terdengar sampai layar di hadapan saya kembali menggelap, barulah Malik mengembuskan napas pendek kemudian segera menarik diri dan kembali menduduki bangkunya di belakang sana.

"Obatnya diminum dulu. Jadi aku enggak perlu terlalu khawatir liat kamu pulang dalam keadaan begitu."

Suara rendah Malik mengudara, lagi-lagi dia yang memecah dingin di antara kami.

Jadi, sebelum dongkol habis menggerogoti kesabaran lelaki itu, saya menurutinya untuk meminum obat tersebut.

"Pak Alan sama Mbak Yangsih belum pulang, mereka tahu kamu sakit dan aku masih di sini nungguin kamu, jadi mereka enggak mau pulang." Terangnya, tanpa diminta. "Kamu ... bisa pulang sendiri? Atau mau aku pesenin taksi aja?"

Saya menggeleng singkat, diam-diam senang mendengar nada bicara Malik sudah kembali tenang seperti semula.

"Aku bisa pulang sendiri."

"Tapi kamu lagi pusing?"

"Enggak apa-apa, nanti pelan-pelan."

"Ini udah malam, Rianka."

"Iya, makanya aku enggak berani naik taksi malam-malam."

"Iya udah, kalau gitu tunggu bentar lagi sampai pusingnya mendingan?"

"Enggak, Malik. Nanti tambah malam." Embusan napas panjang saya begitu saja memotong argumen kami, saya memejamkan mata sekejap lalu meraih tas di sisi meja. "Aku enggak apa-apa, udah biasa begini."

Selagi saya merapikan barang di atas meja dan di dalam tas, Malik tidak berbuat atau berkata apa-apa lagi yang menahan keras kepala saya untuk menempuh jalan pulang.

Yang dia lakukan hanya diam di tempatnya, di akhir, dia juga ikut merapikan mejanya sendiri berbarengan dengan saya yang tengah mengenakan jaket.

"Kamu duluan aja, Lik." Ujar saya, tidak enak terus-menerus melihat Malik menunggu saya sementara jam pulangnya sudah terpangkas habis sedikit demi sedikit.

"Nungguin orang sakit itu enggak ada ruginya." Malik menjawab santai, jemarinya meraih kunci motor saya dan meletakkannya di atas telapak tangan saya yang terasa panas. "Selama aku mampu buat bantu, kenapa enggak."

Saya tidak begitu mengerti maksud dari kalimat Malik tersebut, tetapi saya rasa dia benar-benar menepati ucapannya.

Terbukti dari dia yang mau bersikeras meyakinkan Pak Alan bahwa saya bisa pulang sendiri, lalu dilanjutkan dengan langkahnya yang sabar menemani rajutan-rajutan langkah lambat saya sampai di bawah temaram lampu selasar parkir.

Di situlah Malik membuka suara lagi, seolah memaksa saya untuk mendengar dan merekam suaranya sebagai lagu retoris penutup malam yang menenangkan.

"Be careful, Miss. Fabella. Get well very soon, and I hope you have a nice dream tonight."

Kalau itu, di situlah saya terbangun pada realita bahwa debaran saya masih ada di samping rasa untuknya.

Why We HereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang