"Angka!"
Sebelumnya, mungkin saya harus memperkenalkan diri.
Nama saya Rianka Fabella, sebenarnya nama panggilan kecil saya adalah Anka, namun seiring berjalannya waktu dan banyaknya orang-orang berhilir mudik dalam hidup saya, nama panggilan saya lama-kelamaan menjadi Angkaㅡwell, iya, persis angka yang itu, satu, dua, tiga, dan seterusnya. Mereka bilang, nama panggilan saya saat ini cukup unik untuk saya yang memiliki nama biasa-biasa saja.
Jadilah saya biarkan, selama masih dalam artian yang baik.
Maka tanpa memedulikan persoalan nama lagi, saya menoleh segera setelah mencabut kunci motor dari tempatnya.
Tidak jauh dari saya berdiri, manager saya sedang duduk di teras kantor dengan koran sore edisi kemarin dan secangkir kopi mengepul di sampingnya, membuat asumsi dalam kepala saya memuncak terhadap dia dan apa sebabnya memanggil saya bahkan sebelum saya benar-benar menyimpan helmet pada rak yang telah disediakan.
"Pagi, Pak."
Pak Alan tersenyum simpul, lantas mengangguk. "Gimana? Udah ketemu Malik, kemarin?"
Kan.
"Udah, Pak."
"Terus jadinya? Bisa, kan?"
Sesungguhnya, saya sendiri pun tidak tahu.
Karena malam kemarin saya belum seratus persen memberi jawaban untuk setuju atas tawaran Malik. Selagi kedua pemuda di hadapan saya kemarin saling adu mulut, saya tertawa kecil dan diam-diam melangkah pergi tanpa mengucap selamat malam pada mereka. Berharap waktu kosong di sisa malam itu dapat saya gunakan untuk memikirkan kembali tawaran tersebut.Namun nyatanya nihil, bahkan sampai pagi ini, di detik ini, saya masih tidak tahu harus menerimanya atau tidak.
"Bingung, Pak."
"Saya mau nyuruh kamu pegangan tapi kayaknya udah enggak lucu lagi, ya?" Pak Alan tertawa kecil, saya mengedip. "Bingung bagian mananya? Kan, udah dijelasin kemarin?"
"Masalahnya, saya nggak terlalu bisa main gitar. Lagian, Bapak tahu dari mana saya bisa main gitar, sih ...."
"Loh, yang di profil kontak kamu?"
"Itu idola saya, Pak."
"Oalah?!" Dia membulatkan matanya sepersekian detik, lalu kembali seperti semula. "Tapi iya juga, sih. Kelihatannya juga kamu bukan tipe yang bisa main gitar elektrik."
Ya Tuhan, jadi dia berasumsi saya bisa bermain gitar hanya dengan melihat media profil kontak saya?
"Jadi nggak apa-apa, kan, kalau saya-"
"Eh nggak-nggak, bentar, bentar." Pak Alan memasang ekspresi berpikir selama kurang lebih dua puluh detik, saya yang ingin membela diri sekali lagi bahkan tidak sempat karena dia lebih dulu mengulas senyum menyebalkannya seperti biasa. "Kayaknya saya waktu itu pernah nggak sengaja lihat video status kamu main gitar. Jangan ngeles kamu, Angka."
Mampus.
Mampus kamu, Rianka.
"Gitarmu yang warna merah marun? Terus kalau nggak salah, kamu cover Paper Heart, kan?"
Seandainya saya bisa mengulang waktu, sebelum saya menaikkan video status yang satu itu seharusnya saya memilih opsi hide pada kontak Pak Alan.
Kini saya percaya, bahwa nasi telah menjadi bubur itu benar adanya.
"Hehe, iya, Pak." Saya tersenyum kikuk, merasa malu mengingat saat itu saya hanya memetik senar gitar seadanya, bahkan saya masih ingat kalau saya melakukan sedikit kesalahan saat memilah fret (hanya saja bagian itu tidak saya masukkan ke dalam video yang saya unggah).
KAMU SEDANG MEMBACA
Why We Here
FanfictionPernahkah kamu bertanya, mengapa kita ada di sini? (Was) #1 - hajoon #1 - the rose [ Why We Here ; DAY6's ] ©2020, Nyctoscphile (200320ㅡ210828) All Rights Reserved.