Satu Minggu berlalu setelah saya bertemu Qiara di rumahnya waktu itu, di waktu serta momen yang tidak mengenakkan. Saya tidak lagi banyak bertemu dengannya, mungkin hanya satu atau dua, itupun tidak lebih dari sekadar raga yang saling melewati seolah kami memang tidak saling mengenali.
Begitu juga dengan teman-temannya, saya tidak lagi melihat mereka sering berkumpul bersama, bahkan beberapa dari mereka tidak pernah lagi bisa saya lihat batang hidungnya.
Saya merasa sekaligus menyimpulkan, satu Minggu belakangan ini adalah hari-hari yang tenang bagi keseluruhan diri saya. Pekerjaan yang dilimpahkan pada saya pun seakan mengerti, mereka sama sekali tidak memberi saya tekanan berlebih. Ya ... meskipun terkadang, saya cukup merindukan pulang satu jam lebih lambat dari biasanya untuk menikmati suasana malam.
Jika membicarakan perihal hari yang tenang, tentu saya tidak bisa melepaskannya dari teman satu divisi--satu meja saya--yang, kamu pasti tahu siapa.
Malik masih bersikap selayaknya Malik pada saya seperti biasa, masih sering menawarkan bantuan jika melihat saya sedang repot, masih sering menunggui saya di jam pulang, masih (sangat) sering mengisengi saya jika saya sedang beristirahat atau izin memejamkan mata sebentar.
Dia masih Malik yang sama. Masih Malik yang punya ruang tersendiri bagi saya.
Itu sebabnya, saya tidak bisa bercerita banyak, saya tidak ingin menyisakan banyak konversasi dalam dengannya. Pun saya tidak bisa jadi sepertinya yang tampak menaruh segumpal kepercayaan, hingga menceritakan hari-hari dengan keinginannya yang tak sampai pun dia bercerita bebas sekali.
Masih ingat saat dia menceritakan perihal keluarganya pada saya waktu itu? Dia bercerita sekali lagi, dia mengatakannya sekali lagi dengan membubuhkan tambahan bahwa katanya, dia tidak pernah menceritakan hal itu pada siapa pun kecuali saya.
Maka di hari yang muram lalu di balik ceritanya yang belum tampak menemukan jalan keluar, saya tersenyum menguatkan seraya berucap,
"Daripada nyesel sama masa lalu, kenapa enggak coba untuk berubah dan melakukan yang terbaik buat di kemudian hari?"
Malik ikut tersenyum setelah itu, saya ingat sekali senyumnya tertarik naik sampai kedua pipinya yang cukup gembil berkumpul di bawah matanya yang turut tersenyum seperti bulan sabit. Kemudian keesokan harinya, bisa saya dapatkan sekantung apel merah di atas meja saya pada pagi hari, lengkap ditemani selembar kertas nota yang berisi tulisan tangan kasar.
Isinya, "Apel merah, 2kg. Buat orang yang lihat, jangan diambil. Buat Angka, jangan dibalikin dan jangan dikasih ke orang lain."
Saya terkekeh membacanya, dan semakin yakin jika Malik melakukan ini karena obrolan singkat kami di dalam jendela pesan singkat dua hari sebelumnya.
Hanya berawal dari Malik yang seolah mengadu jika dia gagal mendapat tiket untuk menonton band lokal di daerah kami, tetapi obrolan kami di dalam pesan itu malah berakhir panjang dan berhasil membuat saya benar-benar lupa akan masalah yang pernah menjatuhi saya.
Rianka
Yah, tapi aku nggak suka yang begituan
Terlalu rame heheMalik
Terus sukanya apaSaya terang-terangan menjawab 'Kamu' dalam diam saya yang paling jujur. Namun jemari saya agaknya tidak mengizinkan saya untuk terlalu berbinar pada situasi seperti ini.
Rianka
Apa yaa hahaMalik
Ayo apa
Tenang, aku bisa jaga rahasia
Jadi jangan main rahasia-rahasiaanRianka
Oke
Aku sukanyaMalik
Sukanya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Why We Here
FanfictionPernahkah kamu bertanya, mengapa kita ada di sini? (Was) #1 - hajoon #1 - the rose [ Why We Here ; DAY6's ] ©2020, Nyctoscphile (200320ㅡ210828) All Rights Reserved.