26

110 22 23
                                    

Kembali pada rutinitas, bukan berarti semua yang terjadi di sekitar saya akan sama seperti sebelum-sebelumnya.

Memang, saya masih bekerja, saya masih berangkat pagi-pagi sekali, saya masih lebih suka mengikat rambut saya menjadi satu daripada membiarkannya tergerai, saya masih dihadapkan oleh setumpuk dokumen yang harus saya kerjakan secara manual tanpa bantuan otak komputer sedikitpun.

Semua masih terasa sama, kecuali pada suasana di sekitar saya yang terasa sedikit lebih hening. Entah karena setelah hari libur kemarin beberapa pegawai di divisi saya belum bersemangat untuk mengantor, atau karena saya belum menemukan kehadiran seorang lelaki di belakang bangku saya.

Laptopnya menyala, jas abu-abunya masih tergantung pada sandaran bangku, bahkan tas hitam itu tergeletak manis di atas meja tepat bersebelahan dengan setumpuk pekerjaan saya.

Tetapi, enggan dihajar oleh rasa penasaran, cepat-cepat saya beralih pada tugas saya sendiri sebab saya tidak mau fokus saya terpecah belah menjadi dua apabila saya ingin menyelesaikan pekerjaan ini secepat mungkin, alasan lain agar saya dapat pulang lebih awal, dan agar saya dapat segera pergi dari keheningan tak berarti ini.

Sampai jarum jam menjejak angka sebelas, saya meregangkan tubuh sedikit seraya menghitung, kiranya sudah berapa jam lamanya saya duduk dan menunduk tanpa distraksi dalam bentuk apa pun.

Lagi, mengingat itu, saya menoleh dan masih menemukan spasi di belakang sana antara ada dan tiada. Awalnya saya ragu jika dia tidak datang dan yang ada di sini adalah orang lain, namun ketika saya mencoba membuka daftar absen elektronik di samping pintu masuk ruang kantor saya, saya bisa temukan presensi 'Malik Damian' di kolom ketiga persis sebelum nama saya berada, yang artinya dia datang lebih dulu dari saya beberapa menit.

Saya juga tidak tahu mengapa saya jadi bertanya-tanya seperti ini, padahal seharusnya saya bisa bersikap biasa saja, bukan?

Tetapi kala mengingat apa yang terjadi di antara saya dan Malik di bawah siraman hujan waktu itu, saya tidak bisa berbohong bahwa saya tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana benang-benang merah dalam spasi kami makin terikat kusut. Semakin menebal, hingga jalan keluar yang seharusnya saya cari semakin sulit untuk saya temukan.

Terlebih ketika saya membuka langkah baru berusaha mencoba melupakan, paling tidak untuk sejenak.

Setelah menghirup udara bebas di teras kantor yang sepi sekitar lima menit, langkah kaki saya terbuka sedikit jauh mengelilingi tepi kantor yang menghubungkan selasar parkir dengan pintu belakang dapur kantor. Saya berpikir, mungkin kekurangan cairan tubuh membuat saya berpikir yang macam-macam dan sangat tak pasti.

Jadi setelah memutuskan untuk mengambil apa dari dalam showcase pendingin nanti, tadinya saya hendak memasuki ruang paling pojok dari luasnya kantor saya itu andai saja kedua rungu sensitif saya tidak tertarik pada seruan keras di balik dinding dapur.

Itu bukan seruan biasa, saya tahu itu suara berat yang hanya dimiliki oleh Malik.

Ragu-ragu saya melangkah sedikit lebih dekat, merapatkan diri pada bingkai pintu belakang dapur yang terbuka tak sampai separuhnya.

Di situ saya termangu, dan di situ pula saya dapat mendengar dengan jelas sisi Malik yang belum pernah saya temui sebelumnya.

"Enggak ada lagi kata terserah, kalau kamu nggak pernah berubah." Iya, itu suaranya yang terdengar rendah namun sarat akan berat tertahan.

"Kamu mau apa? Mau mati, kan? Aku nggak akan larang kamu lagi."

"Malik!"

"Apa? Kamu capek? Aku gila, kalau kamu tahu."

Why We HereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang