08

92 21 28
                                    

Langkah kaki saya terajut panjang-panjang dan cepat membelah keramaian mal hari Minggu pukul delapan. Saya tidak suka menunggu, jadi saya juga tidak suka membuat orang lain menunggu.

Kegaduhan kecil ini berawal dari malam kemarin di saat saya tengah menyelesaikan pekerjaan kantor saya di rumah. Pesan-pesan itu datang mengisi notifikasi ponsel dengan singkat, sebelum akhirnya jendela obrolan berubah menjadi nada dering tanda panggilan masuk.

Saya sempat tertegun beberapa detik sebelum memutuskan untuk mengangkatnya.

"Kenapa, Bi?"

"Ini aku telepon ganggu nggak, sih?" Bian malah balik bertanya.

"Enggak, kok. Asal jangan lama-lama aja."

"Oke." Bian terdiam sekian detik, terdengar gemerasak di ujung sana. "Jadi gimana, yang hari Minggu? Mau nggak?"

"Besok Minggu? Kerja?"

Bian terdiam lagi. Saya ikut terdiam.

"Ngg ... brosur yang aku kasih ke kamu tuh masih ada, kan, Ka?"

"Brosur?" Dahi saya dibuat mengernyit. "Brosur apㅡ"

Seketika sesuatu seperti menyengat seluruh tubuh saya dengan keterkejutan yang hebat. Otak saya yang awalnya tenang kian mendadak panik dan membawa retorik saya untuk segera bangun meraih tas di atas meja dan mengacak-acak isinya.

Syukurlah, benda itu masih terselip aman di sana.

Brosur itu, teman-teman sekalian, sebenarnya adalah sebuah undangan acara musik milik teman lama Bian yang akan diadakan di sebuah kedai kopi yang cukup ramai di daerah tempat saya bekerja.

Selain karena acara dimulai pagi dan mereka sama sekali tidak mengganggu waktu kerja saya yang dimulai pada siang hari, saya juga mengiyakan karena kamiㅡsaya dan Bianㅡmemiliki satu selera musik yang sama. Saya tidak keberatan sama sekali menerima tawarannya, mungkin dengan itu saya bisa berteman dengan Bian lebih baik lagi.

Maka saya, pada hari Minggu, berakhir di sini, dengan pandangan meneliti satu persatu meja yang tersedia di salah satu food hall tempat di mana Bian bilang ia sudah menunggu.

Tidak sulit pula menemukan Bian di antara ramainya pengunjung. Sebab, tampilan Bian di dalam dan di luar lingkungan kerja sama sekali tidak berbeda jauh, kemeja kotak-kotak itu dibalut jaket kulit hitam, seperti biasa. Mungkin ia cukup melepas jaket itu ketika memasuki kantor nanti.

"Hai, Bi. Lama nunggu?"

Bian meluruskan wajah, lalu membalas dengan ulasan senyum dan gelengan. "Santai. Duduk aja dulu."

"Ih, nggak kesiangan?"

"Enggak, udah duduk aja." Lanjutnya, sambil menarik bangku kosong di jangkauan. "Mau minum?"

"Nggak deh, nanti aja."

"Ya udah duduk dulu sebentar, bentar lagi kok mulainya."

"Nggak keburu macet?"

"Enggak, Angka." Sahut Bian berusaha sabar, lalu menyimpan ponselnya ke dalam saku jaket. "Kamu bawa motor, kan?"

"Bawa. Kenapa?"

Bukannya menjawab, tangan kanan Bian justru terulur ke arah saya. Sukses saya berkedip bingung dibuatnya.

"Kalau mau berangkat sekarang, ayo, aku yang bawa motornya."

Saya mengerjap. "Lah? Terus motor kamu gimana? Ditinggal?"

"Emang aku bawa motor?"

"Loh enggak?"

Why We HereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang