21

93 19 23
                                    

Setelah pernyataan membingungkan dari Aban tempo hari, saya tidak bisa berbohong bahwa saya selalu memikirkan tiap potongan kata-kata tersebut tanpa tujuan jelas.

Namun sisi diri saya mengatakan itu bukan pula hak milik saya untuk mengetahui lebih lanjut. Makanya, saya sebisa mungkin berusaha menghapus gambaran itu dan sekeras mungkin berusaha untuk menyibukkan diri sendiri.

Memandangi layar laptop tanpa henti, menanggapi pertanyaan-pertanyaan singkat di belakang punggung tanpa berpaling, mengabaikan bisikan dalam otak yang sesekali menarik kendali untuk tersenyum sewaktu presensi lelaki di belakang sana mengajak saya berbaur.

Saya selalu menekankan jika saya memiliki batas, dan saya tidak diperbolehkan untuk melewati batas tersebut. Atau lebih tepatnya, saya takut akan melangkah pada batas yang tak seharusnya.

"Loh, kirain tadi kamu pulang?" Malik memutar bangkunya sedikit mengarah pada saya, tepat setelah saya meletakkan gelas di atas meja.

Saya menggeleng pelan. "Enggak, ke dapur ambil minum. Lagian aku belum selesai." Jawab saya, lalu menyadari Malik tengah menggenggam secarik foto di tangan kanannya. "Kamu nggak pulang, Lik? Udah selesai, kan?"

"Nanti," Malik terdiam sesaat. "Nungguin Jia."

"Oh." Saya mencoba mengangguk maklum, pada akhirnya kembali duduk di bangku milik saya sendiri. "Mau pulang bareng ceritanya?"

Malik tidak menjawab dengan kata, melainkan hanya mengangkat kedua alisnya bersamaan sambil menyandarkan punggung pada bangku.

Lalu saya simpulkan itu sebagai 'iya'.

Baru saya mendudukkan diri pada bangku asal, saya bisa dapati ujung mata Malik melirik saya beberapa kali. Dan saya, sebagai yang merasa diperhatikan jadi tidak punya pilihan selain memaksa diri untuk bertanya.

Apakah ada yang salah dengan diri saya?

"Kenapa?" Tanya saya akhirnya, dengan terpaksa membelah fokus dengan pekerjaan di atas meja agar saya dapat pulang sebelum pukul delapan malam.

Sekaligus agar saya tidak tenggelam terlalu dalam pada genangan di hadapan saya.

"Ka, aku mau tanya."

"Tanya aja." Sahutan saya singkat, fokus tangan dan mata saya benar-benar jatuh pada satu paket naskah tebal dalam pangkuan.

Dia terdiam beberapa detik, saya sudah kepalang hafal akan kebiasaanya yang selalu terdiam jika hendak berpikir panjang atau memikirkan suatu jawaban.

"Tapi dengerin dulu ceritanya." Dia kembali bersuara. "Kan, ada kakak adik, mereka kayak kakak adik pada umumnya, ya ... biasa-biasa aja. Tapi, suatu saat, datang masalah di keluarga kakak adek itu dan tentu kakak adik itu kena imbasnya."

Saya menggumam kecil sebelum menanggapi. "Masalahnya rumit?"

"The worst problem ever." Tandas Malik tanpa ragu. "Kakak adik itu jadi sering berantem karena beda selisih, sering ribut, sampai akhirnya si kakak terbawa emosi dan enggak sengaja menyakiti hati adiknya. Lama-kelamaan, bapak mereka tahu kalau si kakak begitu, terus, si kakak akhirnya diusir dari rumah."

Pergerakan tangan saya terhenti seketika.

"Si kakak udah coba minta maaf?" Tanya saya.

"Bagi si kakak, sih, dia nggak peduli sama orangtuanya. Dia cuma mau minta maaf sama adiknya."

"Udah?"

"Si kakak belum coba. Kayaknya, dia takut duluan. Takut kalau si adik nggak bisa maafin si kakak."

Malik terdiam lama, saya kira dia sudah selesai bercerita. Namun begitu saya mengangkat wajah, saya bisa temukan Malik bergeming bersama sepasang mata yang terpaku pada foto di tangan kanannya.

Why We HereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang